Indonesia Keluar dari Pasar Beras Global Setelah 20 Tahun Jadi Pembeli Terbesar

Indonesia Keluar dari Pasar Beras Global Setelah 20 Tahun Jadi Pembeli Terbesar
Pengamat Universitas Indonesia, Ninasapti menilai keputusan Indonesia keluar dari pasar beras global menjadi pemicu utama turbulensi harga ekspor, sekaligus menandai perubahan besar dalam peta perdagangan pangan internasional, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (28/11/2025) (Foto: Istimewa).

BERITA KOTA ONLINE, JAKARTA – Keputusan Indonesia menghentikan total impor beras pada Januari 2025 terus mengubah peta perdagangan pangan dunia.

Setelah dua dekade dikenal sebagai pembeli terbesar beras internasional, keluarnya Indonesia dari pasar global kini membuat harga ekspor terjun bebas hingga mencapai level terendah dalam sepuluh tahun terakhir.

Situasi ini tidak hanya memaksa negara-negara eksportir melakukan penyesuaian agresif, tetapi juga memperlihatkan dampak strategis dari kebijakan swasembada yang sedang ditekankan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Penutupan keran impor dilakukan setelah Kementerian Pertanian memastikan produksi dalam negeri melampaui kebutuhan konsumsi nasional.

Pakar Ekonomi Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati, menjelaskan bahwa produksi gabah kering giling Indonesia diproyeksikan mencapai 34,77 juta ton pada akhir 2025.

Angka itu cukup untuk menjamin kebutuhan 286 juta penduduk tanpa harus mengandalkan pasokan dari luar negeri. Kondisi ini menjadi dasar kuat pemerintah untuk menyatakan Indonesia telah resmi berada pada posisi swasembada.

Dampaknya segera terasa di bursa internasional. Selama hampir 20 tahun, Indonesia adalah pembeli paling dominan, sering disebut sebagai “penopang” stabilitas permintaan global.

Ketika negara sebesar Indonesia dengan konsumsi beras salah satu yang terbesar di dunia menutup pintu impor, pasar internasional kehilangan salah satu motor penggeraknya.

Laporan FAO dan USDA edisi November 2025 mencatat persediaan akhir musim 2025/2026 mencapai 185,1 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah.

Pada saat yang sama, produksi dunia juga naik ke 556,4 juta ton akibat panen besar di India, Thailand, dan Vietnam.

BACA JUGA:

16 Ribu Pegawai Bea Cukai Terancam Dirumahkan, Menkeu Purbaya Tegaskan Reformasi

Penjualan Mobil Malaysia Lampaui Indonesia, Dominasi Pasar ASEAN Mulai Bergeser

Kelebihan pasokan yang bertemu dengan hilangnya permintaan dari Indonesia menciptakan tekanan besar pada harga.

Beras yang sebelumnya diperdagangkan pada kisaran US$620–650 per ton sepanjang 2024, kini anjlok menjadi US$375–400 per ton dan masih terus merosot setiap pekan.

Para eksportir, terutama di Vietnam dan Thailand, terpaksa melakukan penjualan jauh di bawah harga normal demi menghindari penumpukan stok.

Banyak perusahaan perdagangan pangan dilaporkan mulai memangkas margin drastis atau menjual rugi agar arus barang tetap berjalan.

Ninasapti mengingatkan bahwa meski harga beras global anjlok, situasi itu tidak memberikan keuntungan langsung bagi Indonesia.

Sebaliknya, negara yang diuntungkan adalah para importir aktif di kawasan Afrika dan Timur Tengah yang kini bisa membeli beras dengan harga lebih murah.

“Indonesia tidak sedang mencari keuntungan dari gejolak harga internasional. Fokus kita adalah memperkuat ketahanan pangan, bukan berburu harga murah,” ujarnya menegaskan.

Ia juga mengkritisi pandangan bahwa tanpa impor, daerah-daerah terpencil seperti Papua, Maluku, atau Sabang tidak bisa mendapatkan beras dengan harga terjangkau.

Narasi itu, menurutnya, mengabaikan kerja besar pemerintah dalam memperbaiki infrastruktur pangan nasional. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan Rp189 miliar untuk pembukaan sawah baru dan pembangunan jaringan irigasi di Aceh, dan jumlah itu akan dilipatgandakan dalam RAPBN 2026.

BACA JUGA:

Kontroversi Tumbler Hilang: Dari Curhat hingga Pemecatan, Semua Pihak Terimbas

16 Ribu Pegawai Bea Cukai Terancam Dirumahkan, Menkeu Purbaya Tegaskan Reformasi

Selain itu, penguatan Bulog sebagai tulang punggung distribusi pangan terus ditingkatkan.

Pemerintah memperluas pembangunan gudang modern hingga ke kecamatan terpencil, memperbaiki fasilitas pengeringan, serta menyiapkan skema subsidi energi khusus untuk transportasi pangan strategis agar ongkos logistik lebih stabil.

Dengan sistem distribusi yang lebih solid, pemerintah percaya bahwa swasembada tidak memerlukan setiap pulau menjadi lumbung padi yang penting adalah akses merata bagi seluruh warga negara.

Dari sisi geopolitik pangan, keluarnya Indonesia dari pasar beras global menjadi sinyal kuat bahwa negara berkembang mampu mengurangi ketergantungan terhadap negara eksportir.

Banyak analis memperkirakan perubahan ini dapat mempengaruhi strategi jangka panjang negara-negara importir lain, terutama yang selama ini melihat Indonesia sebagai barometer kebijakan pangan Asia Tenggara.

Bagi negara eksportir, tantangan baru muncul. Mereka harus menyesuaikan strategi penjualan, memperluas pasar baru, atau memperbaiki tata kelola produksi domestik agar tidak tenggelam dalam surplus berkepanjangan.

Sebagian pihak memperkirakan harga beras dunia belum akan pulih dalam waktu dekat.

Di dalam negeri, langkah Indonesia dipandang sebagai tonggak sejarah. Ninasapti menyebut pencapaian swasembada ini sebagai salah satu keberhasilan terbesar sektor pertanian modern.

Ia menilai kebijakan yang konsisten, perbaikan irigasi, dan modernisasi pertanian menjadi fondasi utama keberhasilan tersebut.

“Ini menunjukkan Indonesia mampu berdiri di atas kekuatan sendiri,” ujarnya.

Dengan berbagai dinamika yang terjadi, satu hal menjadi jelas: keluarnya Indonesia dari pasar beras global bukan sekadar keputusan ekonomi, tetapi transformasi besar dalam arah kedaulatan pangan nasional. (*)

Pewarta: Enrizal Mustafa

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *