LUWU TIMUR – Pemerintah Kabupaten Luwu Timur menggelar pertemuan lintas sektor sebagai respons atas meningkatnya kasus kekerasan perempuan dan anak, eksploitasi, serta tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di wilayah Sulawesi Selatan.
Pertemuan tersebut dihadiri perangkat daerah, lembaga layanan, kepolisian, serta organisasi pemerhati perlindungan anak berlangsung di Aula Dinas Pendidikan, Kamis (13/11/2025).
Ketua LPAI Kota Makassar, Makmur, tampil sebagai pemateri utama dan memaparkan materi bertajuk “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan atau Anak, Perkawinan Anak dan TPPO di Sulawesi Selatan Tahun 2025.”
Ia mengatakan bahwa kondisi kekerasan terhadap anak di Sulsel kini memasuki fase darurat.
“Kerentanan anak semakin tinggi, sementara respons di beberapa daerah masih lambat. Ini kondisi darurat perlindungan,” ujar Makmur.
Dalam penjelasannya, Makmur menegaskan bahwa seluruh perangkat daerah harus mengacu kepada perangkat hukum yang sudah sangat lengkap.
Ia merinci dasar hukum yang wajib menjadi acuan, mulai dari tingkat nasional hingga daerah.
“Kita punya UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Perlindungan Anak,” jelasnya.
Ia melanjutkan bahwa masyarakat dan aparat juga perlu mengetahui aturan turunan dan peraturan daerah.
Makmur menyebut PP No. 43 Tahun 2017 dan PP No. 48 Tahun 2019 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan Kekerasan, Permen PPPA tentang Standar Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak, serta Perda Sulsel No. 4 Tahun 2013 tentang Sistem Perlindungan Anak.
Selain itu, terdapat pula Perda Sulsel No. 9 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Perempuan dan Anak.
“Regulasi ini lengkap. Penanganan seharusnya cepat jika semua bekerja sesuai SOP,” tegasnya.
Makmur kemudian menguraikan jenis kekerasan yang paling banyak ditemukan di Sulawesi Selatan.
Bentuknya meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, eksploitasi, penelantaran, hingga TPPO yang kini banyak dilakukan melalui pola perekrutan digital serta penggunaan perantara di lingkup keluarga.
“Kekerasan hari ini tidak berdiri sendiri. Satu anak bisa mengalami fisik, psikis, lalu berujung eksploitasi. Jika tidak cepat ditangani, pelaku bisa memindahkan korban ke luar daerah dalam hitungan jam,” ujarnya.
BACA JUGA:
Presiden Prabowo Beri Rehabilitasi Hukum kepada Dua Guru SMA di Luwu Utara
PKBI Sulsel Desak Kolaborasi Lintas Sektor Tangkal Prostitusi Digital di Makassar


Dalam sesi berikutnya, Makmur memetakan faktor penyebab TPPO di Makassar dan daerah sekitarnya.
Ia menyebutkan kemiskinan, pendidikan rendah, relasi kuasa yang tidak seimbang, praktik perkawinan anak, perspektif keliru orangtua terhadap hak anak, pergeseran nilai sosial, dan lemahnya pengawasan pemerintah daerah.
“Pernikahan dini tanpa visi masa depan adalah pintu masuk eksploitasi yang paling sering diabaikan,” kata Makmur.
Ia juga menyoroti lemahnya akses layanan korban di tingkat lapangan. Padahal, UU mewajibkan adanya layanan terpadu melalui UPTD PPA, kepolisian, pendampingan hukum, layanan medis, psikologis, rumah aman, serta kanal pelaporan digital.
“Banyak masyarakat tidak tahu prosedur pelaporan. Aparat di tingkat bawah pun sering tidak paham SOP. Padahal regulasinya jelas,” ungkapnya.
Makmur menegaskan bahwa penanganan kekerasan tidak bisa mengandalkan kegiatan seremonial.
“Kekerasan dan TPPO tidak bisa ditangani dengan spanduk dan seremoni. Sistem harus hidup. Petugas harus bekerja. Korban harus dilindungi sejak menit pertama laporan masuk,” ucapnya.
Di akhir pemaparan, Makmur meminta Pemkab Luwu Timur mengambil langkah nyata.
Rekomendasi tersebut mencakup penguatan unit layanan, peningkatan literasi SOP aparat, percepatan jalur pelaporan ke UPTD PPA dan kepolisian, pengawasan ketat di wilayah rawan trafficking, serta penindakan tegas terhadap praktik perkawinan anak yang melanggar undang-undang.
Ia juga mendorong koordinasi cepat lintas sektor agar penanganan tidak berjalan sendiri-sendiri.
“Semua pihak harus lebih cepat dari jaringan pelaku. Perlindungan anak tidak boleh ditunda,” pungkasnya. (Rls/Res)

















