Trump Ancam Tambah Tarif ke Negara BRICS Termasuk Indonesia: Perdagangan Global Memanas

Trump Ancam Tambah Tarif ke Negara BRICS Termasuk Indonesia: Perdagangan Global Memanas
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memicu gejolak perdagangan global dengan mengumumkan rencana pemberlakuan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan Trump melalui akun Truth Social pada Minggu malam waktu setempat (6/7/2025) (Foto: Anadolu/py).

WASHINGTON DC — Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memicu gejolak perdagangan global dengan mengumumkan rencana pemberlakuan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia.

Pernyataan tersebut disampaikan Trump melalui akun Truth Social pada Minggu malam waktu setempat (6/7), dan langsung menjadi sorotan internasional.

Trump menyebut bahwa negara-negara BRICS—yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, serta anggota baru termasuk Indonesia telah “bersikap tidak bersahabat” terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat, termasuk dalam isu dukungan terhadap Israel serta kecaman atas serangan gabungan AS dan Israel ke Iran beberapa pekan lalu.

“Amerika tidak akan tinggal diam terhadap negara-negara yang menentang kepentingan nasional kami. BRICS telah melangkahi batas,” tulis Trump dalam pernyataannya.

Sebelumnya, Amerika Serikat sudah menetapkan tarif impor sebesar 32 persen terhadap produk asal Indonesia sejak April 2025.

Namun, dengan ketegangan terbaru ini, Trump mengancam akan menaikkan tarif tersebut sebesar 10 persen lagi jika Indonesia dan negara BRICS lainnya tidak mengubah kebijakan perdagangannya terhadap AS.

Menanggapi pernyataan Trump, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menyatakan bahwa BRICS tidak bertujuan menciptakan konfrontasi dagang dengan Amerika Serikat. Menurut Mao, proteksionisme dan perang tarif hanya akan merugikan semua pihak.

“BRICS berkomitmen memperkuat kerja sama di antara negara-negara berkembang dan tidak berniat membentuk blok tandingan,” ujarnya, dikutip AFP, Senin (7/7).

BACA JUGA

Donald Trump Resmi Menjadi Presiden AS ke-47: Kemenangan Bersejarah dalam Pemilu 2024

Polres Gowa Sabet Juara Satu Lomba Pos Satkamling Tingkat Polda Sulsel

Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak langsung kebijakan ini. Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan negosiasi dengan AS sejak Maret lalu, namun belum membuahkan hasil signifikan. Saat ini, tarif 32 persen masih diberlakukan, dan batas akhir renegosiasi dijadwalkan pada 9 Juli 2025.

Di tengah situasi genting ini, posisi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat masih kosong sejak Juli 2023. Presiden Prabowo Subianto baru mengajukan nama mantan Menteri Koordinator Kemaritiman, Dwisuryo Indroyono Soesilo, untuk mengisi posisi tersebut. Indroyono telah menjalani uji kelayakan oleh Komisi I DPR RI pada Sabtu (5/7), namun belum ada keputusan resmi.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dijadwalkan melakukan kunjungan ke Washington DC pada pekan ini untuk menyelesaikan perundingan tarif menjelang tenggat waktu yang semakin dekat.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Parahyangan, Idil Syawfi, menyebut ancaman tambahan tarif dari Trump sebagai sinyal buruk bagi diplomasi ekonomi Indonesia. Ia menilai absennya duta besar RI di Washington telah memperlemah posisi negosiasi Indonesia.

“Situasi ini menunjukkan kegagalan diplomasi ekonomi kita. Indonesia harus segera menempatkan duta besar agar diplomasi bisa berjalan lebih efektif,” ujar Idil.

Senada, analis kebijakan luar negeri dari Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, menilai posisi dubes Indonesia di AS terlalu strategis untuk dibiarkan kosong lebih lama.

“Amerika bukan mitra biasa. Tanpa representasi tinggi di sana, kita kehilangan jalur komunikasi langsung yang bisa menentukan arah kebijakan,” tegas Dinna.

Dengan ancaman tarif tambahan, Indonesia menghadapi risiko peningkatan harga ekspor dan potensi relokasi industri.

Peneliti CSIS Indonesia, Muhammad Habib, mengingatkan bahwa dampak ini bisa memukul industri dalam negeri jika tidak segera diantisipasi.

“Jika negara-negara ASEAN lainnya berhasil menurunkan tarif AS, sementara Indonesia malah dinaikkan, kita bisa kehilangan investasi,” kata Habib.

Habib menyarankan agar Indonesia mulai menerapkan strategi partisipasi selektif dalam BRICS dan menghindari agenda yang berpotensi memicu konflik geopolitik dengan negara besar seperti AS (*)).

Editor: Enrizal Mustafa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *