PASANGKAYU – Polemik terkait dugaan sengketa lahan di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, kembali menjadi perbincangan publik setelah muncul tanggapan dari sejumlah pegiat pers daerah.
Mereka menilai bahwa dinamika yang terjadi belakangan ini perlu disikapi dengan bijak, terutama ketika menyentuh ranah kebebasan pers dan keterbukaan informasi publik.
Salah seorang pegiat pers di Pasangkayu menilai, setiap pemberitaan yang menyoroti aktivitas perusahaan, kebijakan lembaga, atau persoalan sosial di daerah seharusnya dipahami sebagai bentuk kontrol publik.
Pers, menurutnya, berfungsi memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengetahui berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan umum.
“Pers itu bekerja berdasarkan data dan konfirmasi. Kalau ada yang keberatan terhadap pemberitaan, salurannya sudah jelas, yakni hak jawab. Bukan dengan cara yang bisa dianggap menekan media,” ucap seorang pegiat pers di Pasangkayu dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/10/2025).
Ia menyampaikan bahwa apabila ada pihak yang merasa keberatan terhadap sebuah berita, mekanisme penyelesaiannya telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Menurutnya, Undang-undang tersebut memberikan hak jawab dan hak koreksi bagi siapa pun yang merasa dirugikan oleh pemberitaan.
“Kita harus menjaga agar dinamika publik tidak berubah menjadi tekanan terhadap kebebasan pers. Semua pihak punya hak menyampaikan klarifikasi, tapi dilakukan dengan cara yang santun dan sesuai aturan,” katanya menambahkan.
Dengan demikian, kata dia, langkah-langkah yang bersifat terbuka atau bernada menghakimi sebaiknya dihindari agar tidak menimbulkan kesan intimidatif terhadap jurnalis.
Menurut pandangannya, hubungan antara lembaga pengawas, masyarakat sipil, dan media mestinya berjalan dalam semangat saling menghargai peran.
BACA JUGA:
Pegiat Antikorupsi Siap Laporkan Dugaan Penyimpangan Proyek PISEW Rp500 Juta di Desa Tino Jeneponto
Pegiat Lingkungan Soroti Dugaan Penguasaan Ilegal Lahan Sitaan Satgas PKH di Pasangkayu
Ia menekankan bahwa Pers bertugas menyampaikan informasi berdasarkan data dan konfirmasi, sementara lembaga publik memiliki tanggung jawab menjelaskan duduk persoalan dengan cara yang proporsional.
“Jurnalis di daerah bekerja dengan segala keterbatasan, tapi semangatnya tetap untuk menyampaikan kebenaran. Itu yang seharusnya dihormati, bukan disalahpahami,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa komunikasi terbuka yang beretika dinilai dapat mencegah kesalahpahaman yang berujung pada polemik.
“Yang dibutuhkan sekarang bukan saling menyalahkan, tapi membangun komunikasi yang lebih terbuka dan etis antara media dan lembaga masyarakat,” jelas pegiat pers di Sulawesi Barat.
Sementara itu, sejumlah pemerhati media di Sulawesi Barat juga mengingatkan bahwa kebebasan pers merupakan salah satu pilar demokrasi yang harus dijaga bersama.
Mereka menilai, setiap kritik atau sorotan dari media tidak boleh dipandang sebagai serangan, melainkan sebagai bagian dari proses transparansi dan akuntabilitas publik.
“Kebebasan pers adalah pilar demokrasi. Kalau lembaga publik reaktif terhadap kritik media, itu bisa menciptakan suasana tidak sehat bagi jurnalisme di daerah,” ujar pemerhati media itu.
Diskusi mengenai isu ini pun diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak agar lebih berhati-hati dalam menanggapi pemberitaan.
Pegiat pers di daerah menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab profesional.
Dengan demikian, setiap dinamika yang terjadi di Pasangkayu dapat disikapi secara dewasa tanpa harus menimbulkan ketegangan antara lembaga dan media.
“Kita semua berkepentingan menjaga ruang kebebasan pers. Tanpa pers yang independen, masyarakat kehilangan sumber informasi yang jujur dan kritis,” pungkas seorang aktivis komunikasi publik di Mamuju. (*)
(Tim)

















