JAKARTA – Gelombang besar skandal korupsi kembali mengguncang parlemen. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan dugaan keterlibatan hampir seluruh anggota Komisi XI DPR-RI dalam kasus korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dana yang sejatinya diperuntukkan bagi kepentingan sosial masyarakat miskin, justru mengalir deras ke rekening yayasan-yayasan milik para wakil rakyat sendiri.
Kasus ini mencuat setelah KPK memeriksa sejumlah saksi dan menemukan pola korupsi yang rapi, sistematis, dan terstruktur. Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa praktik korupsi ini dikemas dengan cara seolah-olah dana tersebut digunakan untuk kegiatan sosial.
“Dana ini dikemas seolah bantuan sosial. Padahal, praktiknya adalah korupsi yang sistematis, terselubung, dan tersusun rapi,” tegas Asep Guntur dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (7/8/2035).
Menurut data penyidikan, sebanyak 47 anggota Komisi XI DPR-RI dari sembilan fraksi disebut ikut menerima aliran dana CSR tersebut.
Nilainya fantastis, rata-rata Rp25 miliar per orang setiap tahun, dengan rekor tertinggi mencapai Rp28 miliar yang diterima oleh anggota DPR Fraksi Gerindra, Heri Gunawan.
KPK telah menetapkan dua tersangka awal, yakni Heri Gunawan (Gerindra) dan Satori (NasDem).
BACA JUGA:
Rakor TKPKD III 2025: Pemkab Jeneponto Bentuk Tim Verifikasi Data Sosial Ekonomi
Hadapi Madura United, PSM Makassar Dibayangi Kado Ulang Tahun ke-110 Pasukan Ramang
Namun, berdasarkan dokumen investigatif yang beredar, nama-nama dari partai besar seperti PDIP, Golkar, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP juga disebut dalam daftar penerima.
Fraksi Gerindra bahkan disebut sebagai penerima dengan porsi terbanyak.
Modus Terselubung: “CSR Berbaju Sosial, Bermuara ke Pribadi”
Skema korupsi ini bermula dari kewenangan Komisi XI DPR dalam mengesahkan anggaran tahunan BI dan OJK. Sebelum persetujuan itu diberikan, dibentuklah Panitia Kerja (Panja) yang diisi oleh sejumlah anggota yang kini berstatus tersangka dan saksi.
Dalam rapat tertutup, mereka disebut membuat kesepakatan “tak resmi” dengan pejabat BI dan OJK: setiap persetujuan anggaran harus disertai “sumbangan sosial” melalui dana CSR.
CSR yang semestinya disalurkan untuk pembangunan masyarakat justru dialihkan ke yayasan fiktif yang didirikan oleh para anggota DPR.
Dana tersebut dicairkan melalui proposal dan laporan pertanggungjawaban palsu. Dalam banyak kasus, kegiatan yang tercatat dalam laporan tidak pernah dilaksanakan di lapangan.
“Kami menemukan pola yang berulang. Yayasan dibentuk oleh keluarga atau staf anggota DPR, mengajukan proposal ke BI dan OJK, dan setelah dana cair, uang itu langsung masuk ke rekening pribadi atau digunakan untuk membeli aset,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.
Dugaan Pencucian Uang
Dalam kasus ini, Heri Gunawan dan Satori disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUHP.
Keduanya juga dijerat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dari hasil penyidikan, Heri Gunawan diduga menerima Rp15,86 miliar dari dana CSR BI dan OJK. Uang itu kemudian dialihkan ke berbagai bentuk aset pribadi, seperti rumah makan, tanah, dan kendaraan mewah.
Sedangkan Satori diketahui menerima Rp12,52 miliar, sebagian besar digunakan untuk deposito dan pembangunan showroom.
“Dari hasil penelusuran, ada transaksi perbankan yang direkayasa untuk menyamarkan asal-usul dana. Kami sedang menelusuri keterlibatan pihak bank daerah dalam proses penyamaran ini,” jelas Asep Guntur.
Menariknya, di tengah mencuatnya skandal ini, DPR justru menolak pembahasan RUU Perampasan Aset yang telah lama didorong publik.
Banyak kalangan menilai, penolakan ini bukan tanpa alasan. Dengan terbukanya kasus CSR BI–OJK, publik mulai melihat keterkaitan langsung antara kepentingan pribadi anggota DPR dengan kebijakan yang mereka hambat di Senayan.
Koalisi Anti Korupsi Indonesia (KAKI) mendesak KPK agar tidak berhenti pada dua tersangka saja. “Kasus ini bukan tindak pidana individu, tapi kejahatan berjamaah. Jika KPK hanya menjerat dua orang, publik akan menganggap lembaga ini tak lagi independen,” ujar juru bicara KAKI, Hendra Wijaya.
Desakan Publik untuk Usut Tuntas
Masyarakat sipil kini menuntut KPK agar membuka seluruh daftar penerima dana CSR. Mereka menilai, kasus ini adalah gambaran telanjang tentang rusaknya moral politik di Indonesia, di mana uang rakyat disamarkan sebagai “bantuan sosial” untuk memperkaya para elit.
“Yang miskin makin miskin, yang di atas terus menumpuk harta. Kalau lembaga sekelas DPR bisa menjadikan CSR sebagai ladang pribadi, ini bukan lagi sekadar korupsi, tapi penghianatan terhadap mandat rakyat,” tutur Hendra menegaskan.
Kini, publik menanti keberanian KPK untuk menuntaskan kasus ini. Karena skandal CSR BI–OJK bukan hanya soal dana yang digelapkan, tetapi juga soal moralitas dan tanggung jawab wakil rakyat terhadap kepercayaan yang diberikan oleh bangsa. (*)
H. Sakkar

















