MAKASSAR — Tindakan pembuangan limbah medis secara sembarangan kembali mencoreng wajah pelayanan kesehatan di Sulawesi Selatan.
Kali ini, Puskesmas Kampili di Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, diduga menjadi pelaku pembuangan limbah medis berbahaya di atas lahan milik warga di wilayah Kota Makassar.
Dugaan tersebut memicu gelombang kecaman keras dari berbagai kalangan, termasuk Ketua DPD Lembaga Poros Rakyat Indonesia (LPRI) Kota Makassar, A. Agung, SH., CLA.
Menurut A. Agung, tindakan pembuangan limbah medis tanpa prosedur resmi merupakan bentuk kejahatan lingkungan yang tidak dapat ditoleransi.
Ia menilai hal ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan sebuah perbuatan yang melanggar etika kemanusiaan dan hukum yang berlaku.
“Sebagai lembaga pelayanan kesehatan, Puskesmas seharusnya menjadi contoh dalam pengelolaan limbah yang aman. Tapi kenyataannya, yang terjadi malah sebaliknya,” ujarnya dalam keterangannya Senin (10/11/2025).
Limbah medis yang dibuang sembarangan diketahui berisi bahan berbahaya dan beracun (B3), seperti jarum suntik, perban berdarah, sisa infus, dan sarung tangan bekas pakai.
Jenis limbah tersebut berpotensi menularkan penyakit menular seperti Hepatitis B, HIV, dan infeksi kulit, terutama bagi warga yang tinggal di sekitar lokasi pembuangan.
“Bayangkan jika anak-anak bermain di sekitar lahan itu, atau hujan turun dan air limbah meresap ke tanah. Dampaknya bisa meluas ke sumur warga dan lingkungan sekitarnya,” tambah A. Agung.
BACA JUGA:
Kapolda Baru Sulsel Disambut Aksi Demo: Jurnalis dan Ormas Tuntut Polisi Bersih dari Pelanggaran HAM
PGRI Lutra Turun Aksi, Ribuan Massa Tuntut Keadilan untuk Dua Guru yang Dipecat MA




Ia menegaskan, kasus seperti ini seharusnya menjadi perhatian serius Dinas Kesehatan Kabupaten Gowa dan Pemerintah Kota Makassar karena menyangkut keselamatan publik.
Berdasarkan hasil investigasi LPRI, pembuangan limbah medis tanpa izin jelas melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 98 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pencemaran lingkungan dapat dipidana penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp3 miliar.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 menegaskan bahwa limbah medis harus dikelola oleh pihak berizin, bukan dibuang sembarangan.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi sudah masuk kategori tindak pidana lingkungan hidup. Ada ancaman penjara dan denda yang besar. Kami mendesak agar aparat kepolisian segera menyelidiki dan menindak tegas pihak yang terlibat,” tegas Ketua LPRI Makassar tersebut.
LPRI menilai bahwa peristiwa ini menjadi preseden buruk bagi dunia kesehatan di daerah. Jika tindakan ini dibiarkan tanpa sanksi, maka akan muncul kesan bahwa pelanggaran lingkungan oleh institusi kesehatan adalah hal biasa.
A. Agung menyerukan agar pemerintah daerah transparan dalam mengusut dugaan keterlibatan pihak Puskesmas Kampili dan memastikan pengelolaan limbah medis di semua fasilitas kesehatan mengikuti standar nasional.
“Kami tidak ingin masyarakat terus menjadi korban kelalaian. Ini harus jadi momentum pembenahan sistem pengelolaan limbah medis di seluruh Puskesmas. Jangan hanya bicara sehat di ruang pelayanan, tapi mencemari lingkungan di luar,” pungkasnya.
LPRI juga berencana melaporkan kasus ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar dilakukan audit dan penegakan hukum di tingkat nasional.
Selain itu, lembaga tersebut membuka posko pengaduan masyarakat yang merasa terdampak atau mengetahui praktik serupa di wilayah lain.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa tanggung jawab institusi kesehatan tidak berhenti di ruang perawatan pasien, tetapi juga mencakup perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Tanpa pengelolaan limbah yang benar, upaya kesehatan masyarakat bisa berubah menjadi sumber bencana baru. (*)
Tim Investigasi

















