LUWU RAYA, BERITAKOTAONLINE.ID – Gelombang dukungan terhadap dua guru SMAN 1 Luwu Utara yang diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) semakin meluas.
Kasus yang bermula dari dugaan pelanggaran kedisiplinan ini kini menjadi sorotan publik dan memicu reaksi dari berbagai kalangan, termasuk dari tingkat legislatif di Provinsi Sulawesi Selatan.
Salah satu suara keras datang dari Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Drs. H. Jasrum. Legislator yang dikenal vokal dalam isu pendidikan ini menilai, langkah Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel yang memecat dua guru tersebut perlu dikaji ulang secara mendalam.
Ia bahkan mendesak Komisi E DPRD Sulsel segera memanggil Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel untuk memberikan klarifikasi terbuka di hadapan para wakil rakyat.
“Menyikapi kasus dua guru di Luwu Utara ini, saya usulkan agar teman-teman di Komisi E segera melakukan pemanggilan terhadap Kadis Pendidikan Provinsi Sulsel sebagai leading sector SMA dan SMK se-Sulsel, untuk memberikan keterangan terkait PTDH dua guru di Luwu Utara ini,” tegas Jasrum, Minggu (9/11/2025).
Menurutnya, keputusan PTDH yang diambil Dinas Pendidikan terkesan tergesa-gesa dan tidak memberikan ruang pembelaan yang cukup kepada kedua guru.
“Kita perlu tahu substansi dan pokok permasalahannya, sehingga keputusan pemecatan itu bisa diuji secara transparan. Jangan sampai ada unsur ketidakadilan di dalamnya,” ujarnya menambahkan.
Sebagai legislator yang mewakili daerah pemilihan XI (Luwu Raya), Jasrum merasa memiliki tanggung jawab moral untuk memperjuangkan nasib dua pendidik yang menjadi korban kebijakan kontroversial tersebut.
Ia menilai, seorang guru tidak hanya berhak atas gaji dan penghargaan, tetapi juga atas perlindungan hukum dan keadilan administratif.
“Saya dan teman-teman di DPRD Sulsel berkewajiban memastikan bahwa kebijakan pendidikan berjalan dengan adil dan manusiawi. Kalau memang ada kesalahan, tentu harus diselesaikan sesuai aturan, tapi jangan sampai menjatuhkan martabat guru,” imbuh mantan Kepala Dinas Pendidikan Luwu Utara ini.
Jasrum menilai, pemanggilan Kadis Pendidikan oleh Komisi E menjadi langkah strategis agar publik memperoleh penjelasan yang komprehensif.
BACA JUGA:
PGRI Lutra Tempuh Jalur Konstitusional, Surat Grasi Dikirim untuk Presiden Prabowo
Pandji Pragiwaksono Dilaporkan ke Mabes Polri, Tokoh Toraja: Hukum Adat Tetap Berjalan

Ia menegaskan, fungsi pengawasan DPRD tidak boleh berhenti pada tataran formal, melainkan harus menyentuh sisi moral dan sosial yang berdampak langsung pada masyarakat.
“Komisi E adalah mitra Dinas Pendidikan, sehingga sudah sepatutnya kita memanggil Kadis untuk mendengar penjelasannya. Ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan,” tandasnya.
Sementara itu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Luwu Utara) sebelumnya telah menggelar aksi unjuk rasa di gedung DPRD setempat.
Ribuan guru turun ke jalan, membawa spanduk dan poster bertuliskan tuntutan keadilan bagi dua rekan mereka. Aksi tersebut berlangsung tertib, damai, dan mendapat simpati dari masyarakat luas.
Ketua PGRI Luwu Utara dalam orasinya menegaskan bahwa organisasi profesi guru itu tidak menolak penegakan disiplin, namun menolak setiap bentuk ketidakadilan terhadap tenaga pendidik.
“Kami hanya ingin keadilan ditegakkan. Jika memang bersalah, tentu ada mekanismenya. Tapi jangan langsung dipecat tanpa mempertimbangkan rekam jejak dan kontribusi mereka selama ini,” ujar salah satu orator dalam aksi tersebut.
Kasus ini pun menjadi pembicaraan hangat di berbagai media sosial. Banyak warganet yang menilai keputusan PTDH tersebut terlalu berat dan tidak mencerminkan semangat perlindungan terhadap profesi guru.
Tak sedikit pula yang mendesak agar Gubernur Sulawesi Selatan turun tangan untuk meninjau kembali keputusan tersebut.
Kini, semua mata tertuju pada langkah DPRD Sulsel, khususnya Komisi E. Publik menunggu, apakah lembaga legislatif akan menjalankan fungsi pengawasannya dengan tegas atau membiarkan kasus ini tenggelam dalam hiruk-pikuk isu politik lainnya.
Bagi Jasrum, kasus dua guru SMAN 1 Luwu Utara bukan sekadar persoalan administratif, melainkan ujian bagi integritas sistem pendidikan di Sulawesi Selatan.
“Kita tidak bisa membiarkan ketidakadilan dibiarkan atas nama kebijakan. Guru adalah ujung tombak pendidikan, bukan korban birokrasi,” tutupnya dengan nada tegas. (*)
Pewarta: Yustus

















