MAKASSAR – Di tengah padatnya aktivitas perkotaan, suara kendaraan, dan deretan bangunan yang terus tumbuh, sebuah gerakan baru diam-diam menyebar di lorong-lorong kota Makassar, anak-anak muda kembali menanam.
Namun berbeda dari gambaran pertanian tradisional yang identik dengan sawah luas, petani muda yang tumbuh di Makassar justru membawa wajah pertanian yang lebih modern vertikal, digital, estetis, bahkan bernilai ekonomi.
Inilah inspirasi besar dari Urban Farming dan gerakan Tanami Tanata’ yang digagas Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, sebagai upaya menghidupkan kembali benih-benih ketahanan pangan dari tengah kota.
Di banyak kota besar Indonesia, regenerasi petani muda masih menjadi tantangan berat.
Badan Pusat Statistik mencatat mayoritas petani Indonesia berusia 40 tahun ke atas, sedangkan anak muda masih menganggap pertanian sebagai profesi yang kurang menjanjikan.
Namun Makassar memilih jalan berbeda: mengubah cara pandang masyarakat, khususnya generasi muda, bahwa pertanian bisa menjadi gaya hidup, ruang kreatif, hingga peluang usaha yang menguntungkan.
Dengan memadukan sentuhan teknologi, kreativitas lorong, dan pendekatan ekologis, Urban Farming dan Tanami Tanata’ kini berubah menjadi inspirasi baru bagi pemuda Makassar untuk melihat pertanian dari kacamata yang lebih segar, modern, dan menjanjikan.
Urban Farming: Ketika Bertani Menjadi Bagian dari Ritme Kota
Urban Farming bukan lagi sekadar gerakan menanam sayur di pekarangan. Di banyak titik kota Makassar, gerakan ini berkembang menjadi ruang kolaborasi antarwarga, ajang eksplorasi teknologi sederhana, dan wadah bagi anak-anak muda menunjukkan kreativitas mereka.
Di beberapa lorong, tanaman hidroponik berjajar rapi di dinding rumah. Di sudut kampung, anak-anak muda membangun kebun mini berbasis vertikal farming menggunakan pipa paralon.
Bahkan sejumlah komunitas pemuda mengembangkan kebun organik kecil yang mampu menopang kegiatan ekonomi rumahan.
Konsep Urban Farming yang diperkenalkan pemerintah kota menjadi inspirasi baru bagi generasi muda.
Mereka menemukan bahwa bertani tidak lagi identik dengan tanah berlumpur dan lahan luas.
Urban Farming hadir dengan sentuhan modern: teknologi hidroponik, sistem irigasi tetes, pemantauan kelembapan berbasis aplikasi, hingga pot tanam yang dibuat dari barang-barang daur ulang.
Semua itu membuat kegiatan bertani lebih dekat dengan dunia sehari-hari anak muda perkotaan.
Beberapa di antara mereka bahkan mulai menjadikan Urban Farming sebagai peluang usaha.
Tanaman microgreens, selada hidroponik, cabai organik, hingga tanaman herbal kini menjadi komoditas populer bagi pasar rumah tangga, restoran, hingga hotel.
Pemuda Makassar yang melek digital pun memanfaatkan media sosial sebagai etalase mereka, memasarkan produk pertanian dengan tampilan yang lebih estetis, bersih, dan modern.
“Bertani itu ternyata bisa keren. Kita bisa menggabungkan konsep bisnis, teknologi, dan kreativitas dalam satu kegiatan,” ujar salah seorang pemuda pelaku Urban Farming
Urban Farming bukan hanya menghidupkan ruang kota, tetapi juga menghidupkan wawasan dan semangat baru dalam diri pemuda Makassar bahwa pertanian punya masa depan cerah jika dikelola dengan cara berbeda.
Tanami Tanata’: Gerakan Kota yang Menyentuh Lorong hingga Ruang Publik
Jika Urban Farming menjadi pintu pertama, maka Tanami Tanata’ hadir sebagai gerakan kota yang memperluas dampaknya.
Dicanangkan oleh Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, gerakan ini mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menanam apa pun yang bermanfaat: tanaman pangan, tanaman obat, tanaman peneduh, maupun tanaman hias. Namun maknanya jauh lebih dari sekadar menanam.
Tanami Tanata’ menghidupkan lagi budaya gotong royong, kebersamaan, dan kreativitas warga. Di tangan anak-anak muda, program ini berubah menjadi gerakan ekologis yang inspiratif.
Mereka menghijaukan lorong-lorong kumuh, mengubah dinding kosong menjadi kebun vertikal, hingga membuat zona hijau mini di sekitar rumah.
Di sekolah-sekolah, gerakan ini diwujudkan melalui kebun edukatif yang tidak hanya mengajarkan siswa tentang tanaman, tetapi juga literasi lingkungan dan kedisiplinan.
Di kampus, mahasiswa memanfaatkan Tanami Tanata’ sebagai proyek kolaboratif untuk penelitian, media praktik wirausaha, hingga kampanye lingkungan.
Yang menarik, Tanami Tanata’ tidak datang dengan pendekatan formal birokratis. Gerakan ini lebih mengutamakan partisipasi warga dan memberikan ruang luas bagi ide-ide kreatif, terutama dari kalangan muda.
Tidak heran jika kebun lorong yang dikelola anak muda tampak lebih inovatif: ada yang menggunakan panel surya kecil untuk memompa air, ada yang mengaplikasikan sensor kelembapan, ada pula yang menggunakan sistem NFT (Nutrient Film Technique) skala rumahan.
Tanami Tanata’ sukses membuktikan bahwa ruang kota bukan hambatan, melainkan peluang. Di tengah kepadatan Makassar, lahan sempit justru mendorong lahirnya inovasi.
Mengatasi Stigma: Bertani Tidak Lagi Dipandang Sebagai Profesi Kuno
Selama bertahun-tahun, salah satu hambatan terbesar regenerasi petani muda adalah stigma bahwa bertani adalah pekerjaan berat dan kurang menjanjikan. Namun Urban Farming dan Tanami Tanata’ meruntuhkan stigma itu pelan-pelan.
Generasi muda Makassar mulai melihat bahwa bertani modern bisa: dilakukan di ruang kecil, menggunakan teknologi, menghasilkan produk bernilai tinggi, dijalankan dengan estetika, serta dikembangkan sebagai bisnis kreatif.
Pemahaman inilah yang mengubah cara pandang mereka. Bertani bukan lagi sekadar profesi, tetapi gaya hidup green lifestyle yang memberikan manfaat ekologis, kebugaran mental, hingga peluang pendapatan.
Banyak pemuda yang awalnya hanya iseng memasang rak hidroponik kini memiliki pelanggan tetap. Ada pula yang memproduksi nutrisi hidroponik rumahan dan memasarkannya secara online. Tidak sedpembuatanikit mahasiswa yang membuka jasa kebun mini di rumah-rumah warga.
Perubahan cara pandang inilah yang menjadi inti inspirasi gerakan ini: bertani bisa modern, kreatif, dan menguntungkan.
Integrasi Minat Anak Muda: Kreativitas, Digital Marketing, dan Ekologi
Anak muda Makassar saat ini identik dengan dunia digital, desain, bisnis, dan pengembangan diri. Menariknya, semua minat itu justru bertemu di dunia Urban Farming.
Melalui gerakan ini, mereka dapat menggabungkan: kreativitas desain pot dan rak tanam, keterampilan konten digital untuk memasarkan produk, pemahaman bisnis untuk menyusun strategi penjualan, dan kepedulian ekologis untuk menciptakan ruang hijau baru.
Urban Farming dan Tanami Tanata’ menjadi ekosistem baru yang menyatukan banyak passion anak muda. Dari lorong hingga ruang publik, mereka menciptakan model agribisnis kecil yang adaptif, berkelanjutan, dan relevan dengan gaya hidup modern.
Makassar Menjadi Contoh Kota yang Menggerakkan Regenerasi Petani Muda
Gerakan pertanian kota yang tumbuh di Makassar memperlihatkan bahwa regenerasi petani muda tidak harus dimulai dari desa.
Kota bisa menjadi panggung awal yang mempersiapkan mereka. Mulai dari kebun kecil di halaman rumah, kegiatan komunitas, hingga kolaborasi ekonomi kreatif, semua itu menjadi fondasi kuat untuk menghadirkan petani muda yang lebih inovatif dan melek teknologi.
Makassar mengajarkan bahwa masa depan pertanian tidak hanya bergantung pada hamparan sawah luas, tetapi pada cara kita menciptakan ruang baru bagi anak muda untuk menanam, belajar, berkreasi, dan berkembang.
Urban Farming dan Tanami Tanata’ bukan sekadar gerakan menanam tanaman. Ia adalah gerakan menanam harapan. Dari lorong-lorong kota, masa depan ketahanan pangan itu sedang tumbuh. (Rls/Arya)

















