BERITA KOTA ONLINE, LUWU RAYA – Diskusi bulanan Ma’REFAT INFORMAL MEETING (REFORMING) kembali menghadirkan pembahasan yang tajam dan kritis.
Kali ini diskusi mengupas tuntas praktik penataan ruang nasional serta dampaknya terhadap masyarakat di tengah ekspansi besar-besaran Proyek Strategis Nasional (PSN).
Kegiatan yang digelar di kantor LINGKAR-Ma’REFAT Makassar pada Minggu, 23 November 2025 itu menjadi ruang terbuka untuk membaca ulang bagaimana negara mengelola ruang hidup warganya, dan apa konsekuensi yang muncul dari pembangunan berskala raksasa yang terus didorong pemerintah.
Diskusi seri ke-28 ini mengusung tema yang langsung menohok inti persoalan: “Masih Perlukah Tata Ruang Diperbincangkan dan Diperjuangkan, di Tengah Maraknya PSN Menimbulkan Masalah?”
Dua pemantik hadir memantik percakapan: Budayawan dan Purnabakti Fakultas Ilmu Budaya UNHAS Alwy Rachman, serta Planolog dan Pemerhati Tata Ruang & Lingkungan Hidup Ma’REFAT INSTITUTE Sulsel, Mohammad Muttaqin Azikin.
Keduanya memaparkan sudut pandang berbeda namun saling melengkapi, menghadirkan gambaran utuh tentang bagaimana kekuasaan dan kapital bekerja di dalam ruang.
Alwy Rachman membuka sesi pertama dengan mengajak peserta memahami ruang bukan sebagai sekadar wilayah fisik, melainkan arena sosial yang dipenuhi simbol, nilai, dan relasi kuasa. Ia menekankan bahwa kemampuan seseorang tidak bisa dilepaskan dari ruang sosial yang menopangnya.
“Sering kali kita berpikir kemampuan seseorang ditentukan oleh kecerdasan. Padahal lebih dari itu, fungsi dan peran sosiallah yang membentuk kemampuan seseorang tampak,” ucapnya dalam forum.
Menurutnya, ketidakmampuan lahir karena struktur ruang yang mengeluarkan individu dari peran sosialnya, terutama ketika ruang dikuasai pihak berkepentingan yang lebih kuat.
Alwy menilai ruang hari ini diperebutkan oleh kapital, bukan dilindungi negara untuk kepentingan publik.
“Para pemilik kapital hari ini menjadi perampas, penindas, pelaku kerusakan atas lingkungan. Karenanya partisipasi masyarakat penting untuk membangun ruang yang sesuai kebutuhan penghuninya,” tegasnya.
BACA JUGA:
Bos PT Djarum Victor Rachmat Hartono Dicekal Kejagung Ke Luar Negeri
Presiden Prabowo Berhalangan Hadiri KTT G20, Gibran Ditugaskan Wakili Indonesia

Ia mengingatkan bahwa tata ruang tidak bisa dipandang hanya sebagai soal teknis dari para ahli atau birokrat.
Ruang, kata Alwy Rachman, adalah cermin kebudayaan, tempat tarik-menarik antara makna dan kuasa berlangsung setiap saat.
Memasuki sesi kedua, Mohammad Muttaqin Azikin membawa peserta melihat kondisi nyata tata ruang Makassar dan berbagai wilayah lain yang terdampak PSN.
Ia membuka dengan pernyataan tegas: penataan ruang di Makassar selama satu dekade terakhir tidak menunjukkan perbaikan berarti.
“Bahkan cenderung semakin berantakan, semrawut, dan seolah tanpa orientasi yang jelas,” ujarnya.
Dalam perspektifnya, pemerintah daerah tidak memiliki komitmen kuat untuk menjalankan mandat sebagai penyelenggara penataan ruang.
Muttaqin mengungkap bahwa selama 15 tahun dirinya memberi respons terhadap berbagai isu tata ruang melalui tulisan dan advokasi, hampir tidak ada kebijakan yang menunjukkan perubahan signifikan.
Dampaknya dirasakan langsung oleh warga: kemacetan, banjir tahunan, persampahan, minimnya air bersih, dan masalah perkotaan lain yang terus berulang. Semua itu menurutnya adalah bentuk kegagalan tata kelola ruang.
Saat menyinggung PSN, Muttaqin menyebut sedikitnya tiga masalah besar. Pertama, PSN merusak hirarki perencanaan ruang dan menabrak prinsip konsistensi tata ruang nasional.
Kedua, PSN merupakan proses gentrifikasi besar-besaran yang dilegalkan, memindahkan warga dari ruang hidup mereka demi kepentingan ekonomi elite.
Ketiga, PSN menimbulkan kejahatan lingkungan dan ruang hidup masyarakat adat di berbagai daerah.
“Ini bukan sekadar pembangunan, tetapi bentuk perampasan ruang,” tegasnya.
BACA JUGA:
Purnawirawan TNI Sambangi Bareskrim, Dorong Kasus Ijazah Jokowi Dibuka Kembali
Dua Pejabat Dinkes Toraja Utara Resmi Jadi Tersangka Korupsi Dana BOK 2024
Muttaqin menyoroti bahwa perencana tata ruang seharusnya melibatkan lebih banyak disiplin ilmu budayawan, antropolog, sosiolog agar perencanaan lebih manusiawi dan komprehensif.
Namun realitasnya, ruang justru menjadi produk politik, dikendalikan oleh penguasa dan pemilik modal.
Ia mencontohkan reklamasi Pantai Losari yang kini menjadi Kolam Losari, yang menurutnya menguntungkan investor namun menyisakan segregasi sosial-ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Diskusi semakin hidup saat memasuki sesi tanya jawab. Firman Anshari, akademisi yang hadir, mengutip pandangan David Harvey bahwa ruang adalah production space kapitalisme.
Ia menilai PSN sebagai bentuk spatio temporative kapitalisme yang menciptakan ruang baru untuk keuntungan kelompok tertentu.
Perspektif ini memperkuat kesimpulan bahwa pengelolaan ruang hari ini sarat kepentingan ekonomi, bukan hak warga.
Dalam tanggapannya, Alwy kembali menegaskan bahwa modal—baik sosial, ekonomi, simbolik maupun politik menentukan siapa yang menguasai dan memproduksi ruang.
Ia menekankan pentingnya riset partisipatif, karena pengetahuan masyarakat sering kali lebih dekat dengan realitas dibanding regulasi formal pemerintah.
Sementara itu, Muttaqin menyebut absennya masyarakat dalam perencanaan sebagai bentuk kesengajaan.
“Ada pengabaian dan kesengajaan pemerintah yang diberi wewenang oleh undang-undang, membiarkan masyarakat tanpa pengetahuan agar ekspansi ruang lebih mudah dilakukan,” ucapnya. Rakyat, katanya, tidak pernah dianggap memiliki hak menentukan ruang hidupnya.
Ia menutup dengan kritik mendalam: “Kita harus mempertanyakan, ruang yang aman, nyaman, produktif, berkelanjutan itu untuk siapa?” Sebab menurutnya, frasa-frasa itu sering hanya menjadi legitimasi kebijakan yang berpihak pada pemilik modal.
Selama dua jam diskusi, mengemuka satu garis besar bahwa tata ruang di Indonesia berada dalam kondisi krisis. Negara justru membuka jalan bagi kapital untuk mengambil alih ruang publik dan ruang hidup masyarakat.
Forum dihadiri peserta dari berbagai latar belakang, mahasiswa, dosen, ASN, aktivis lingkungan, pelaku usaha yang mengikuti diskusi dengan antusias hingga akhir acara. (*)
Pewarta: Yustus Bunga

















