BERITA KOTA ONLINE, JAKARTA – Dialog Literasi Kebangsaan (DILIBAS) Sesi Kedua yang digelar STIK PTIK Lemdiklat Polri kembali menjadi ruang strategis untuk merumuskan arah perubahan institusi kepolisian.
Di tengah meningkatnya tuntutan publik terhadap transparansi, integritas, dan profesionalisme aparat, forum ini tampil sebagai jembatan antara dunia akademik dan kebutuhan reformasi internal Polri.
Dengan mengangkat tema “Standar Etika Moral Menuju Transformasi Birokrasi Polri”, kegiatan ini tidak hanya menjadi diskusi, tetapi juga cermin reflektif bagi para perwira dalam menilai kembali kualitas moral dan kapasitas intelektual mereka.
Sejak awal dibuka, atmosfer intelektual di Auditorium Mutiara STIK PTIK langsung terasa kuat. Para pembicara nasional berbagai disiplin ilmu, mulai dari hukum, sosiologi, etika publik, hingga kajian kebangsaan, menciptakan percakapan komprehensif tentang arah transformasi Polri.
Kehadiran para akademisi senior seperti Prof. Koentjoro, Prof. Yudi Latif, Prof. Paulus Wirutomo, Dr. Sarah Nuraini, dan Dr. Phil. Panji memperkaya sudut pandang diskusi sehingga para peserta mendapatkan perspektif luas tentang perubahan birokrasi yang ideal.
DILIBAS sendiri merupakan forum yang sejak awal digagas untuk memperkuat tradisi intelektual di tubuh Polri.
Fokusnya adalah membangun literasi kebangsaan, memperluas wawasan sosial, serta menumbuhkan etika moral guna menciptakan aparat yang tidak hanya terampil menegakkan hukum, tetapi juga mampu membaca dinamika sosial secara kritis.
Dalam sesi kedua ini, tema etika moral menjadi titik tekan karena dipandang sebagai pondasi utama dari reformasi institusi.
Direktur Program Sarjana S1 STIK PTIK Lemdiklat Polri, Brigjen Pol Dr. Endra Zulpan, menjadi salah satu sosok sentral dalam diskusi.
Ia menegaskan bahwa transformasi birokrasi Polri tidak boleh hanya berhenti pada perbaikan sistem atau penyempurnaan regulasi.
BACA JUGA:
Wali Kota Munafri Paparkan Arah Pembangunan Makassar 2025–2029 di Forum ASCC Jepang 2025
Erwin Aksa Paparkan Peran Golkar dalam Menjaga Stabilitas Politik


Menurutnya, inti dari perubahan ada pada kualitas moral, integritas, dan kapasitas intelektual setiap perwira. Tanpa itu, inovasi kebijakan tidak akan berakar kuat dan pelayanan publik tidak akan mengalami lompatan kualitas.
Endra Zulpan memaparkan bahwa pada era digital saat ini publik semakin kritis, responsif, dan cepat dalam menilai kinerja aparat.
Setiap tindakan personel Polri dapat menjadi perhatian luas dalam hitungan detik.
Karena itu, kemampuan literasi baik literasi moral, literasi informasi, maupun literasi kebangsaan menjadi kebutuhan strategis bagi setiap anggota Polri.
Ia menekankan bahwa kemampuan membaca data, memahami konteks sosial, dan menilai konsekuensi moral dari setiap tindakan adalah alat penting bagi seorang perwira di tengah derasnya arus informasi.
Endra Zulpan mengatakan bahwa dialog seperti ini adalah ruang untuk menilai apakah Polri sudah berjalan pada jalur etika moral yang benar.
“Transformasi birokrasi Polri harus bertumpu pada integritas, kompetensi, dan pemahaman yang kuat terhadap dinamika masyarakat,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa literasi yang tajam akan membantu perwira mengambil keputusan secara objektif, menghindari bias, serta memberikan pelayanan publik yang lebih profesional dan humanis.
Para narasumber yang hadir menguatkan gagasan tersebut. Wamenkum RI, Prof. Koentjoro, menegaskan bahwa etika moral adalah landasan legitimasi institusi penegak hukum.
Tanpa karakter yang kuat, kata dia, kepercayaan publik akan mudah goyah meskipun sistem sudah diperbaiki.
Menurutnya, Polri harus menata ulang bukan hanya mekanisme kerja, tetapi juga orientasi nilai dalam setiap tindakan aparat.
BACA JUGA:
Kapolres Gowa, Staf dan Jajaran Apresiasi Peran Guru dalam Membentuk Generasi Bangsa
Polsek Bengalon Bagikan Bingkisan Snack untuk 135 Siswa TK Tunas Melati


Sementara itu, Prof. Yudi Latif memberikan pandangan yang lebih filosofis.
Ia menyebut bahwa reputasi Polri di mata publik sangat dipengaruhi oleh moralitas internal para aparaturnya. Prosedur dan sistem tidak dapat menggantikan pentingnya integritas personal.
Yudi mengingatkan bahwa kejujuran, tanggung jawab, dan etika profesional adalah wajah pertama yang dilihat masyarakat.
Dari perspektif sosiologis, Prof. Paulus Wirutomo menjelaskan bahwa era digital menuntut kemampuan aparat membaca perubahan sosial dengan lebih akurat.
Publik semakin reaktif, cepat bereaksi, dan sensitif terhadap isu yang menyangkut aparat negara.
Menurutnya, tantangan Polri bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga menjaga harmoni sosial melalui komunikasi publik yang baik dan pendekatan humanis.
Dr. Sarah Nuraini mengarahkan diskusi pada pentingnya reformasi pendidikan di institusi Polri.
Ia menyoroti bahwa STIK PTIK memegang peran fundamental dalam mencetak perwira yang siap memimpin transformasi birokrasi.
Integritas moral, kemampuan analisis sosial, dan literasi kebangsaan harus menjadi bagian inti kurikulum sehingga para lulusan tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga matang secara karakter.
Moderator diskusi, Dr. Puspitasari, memberikan penegasan bahwa DILIBAS bukan sekadar ruang dialog, tetapi juga ruang refleksi.
Menurutnya, Polri harus mampu hadir sebagai lembaga yang peka terhadap kebutuhan masyarakat, responsif terhadap kritik, dan adaptif terhadap perubahan sosial.
Ia menegaskan bahwa pelayanan publik yang baik hanya bisa lahir dari aparat yang memiliki kepemimpinan moral kuat.
Acara kemudian ditutup dengan pemberian penghargaan bagi para narasumber.
Namun makna sebenarnya dari penutupan ini bukan pada seremoni, melainkan pada komitmen berkelanjutan STIK PTIK untuk membangun budaya akademik yang kuat.
DILIBAS Sesi Kedua menandai babak penting dalam perjalanan reformasi Polri.
Dengan menempatkan etika moral sebagai pusat transformasi, STIK PTIK menegaskan bahwa masa depan Polri ada pada karakter aparaturnya: berintegritas, humanis, serta mampu memahami masyarakat dengan nalar kritis yang tajam. (*)
Pewarta: Halimuliadi/Andi Eka/ Andi Ahmad E

















