MAKASSAR, SULSEL – Kasus dugaan kekerasan seksual digital kembali memunculkan kontroversi di Kota Makassar.
Seorang perempuan muda berinisial Poppi, yang sebelumnya telah dinyatakan sebagai korban dalam kasus penyebaran konten pribadi tanpa izin, kini justru ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polrestabes Makassar.
Penetapan status hukum ini memantik protes keras dari tim kuasa hukumnya dan Lembaga Perlindungan Konsumen (LPK) Lintas Pemburu Keadilan.
Ketua DPW LPK Lintas Pemburu Keadilan Sulsel, Agung Gunawan, S.H., mendatangi Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar pada Kamis (15/5/2025) bersama beberapa pemerhati sosial dan awak media.
Mereka menyampaikan keberatan atas status tersangka yang disematkan kepada Poppi, yang menurut mereka telah dilecehkan secara hukum meski telah mendapat pengakuan sebagai korban dalam putusan pengadilan sebelumnya.
Putusan Pengadilan Nyatakan Poppi Korban, Tapi Kini Jadi Tersangka
Dalam konferensi pers di halaman Kantor Kejari Makassar, Jalan Amanagappa, Agung Gunawan menjelaskan bahwa Poppi adalah korban dalam perkara penyebaran konten seksual pribadi yang dilakukan oleh tiga orang pelaku.
Salah satu pelaku diketahui merupakan mantan kekasih Poppi yang bernama Roy.
Putusan pengadilan dalam perkara tersebut secara tegas menyebut Poppi sebagai pihak yang dimanfaatkan oleh Roy demi memenuhi fantasi seksualnya.
“Poppi tidak pernah berniat membuat video tersebut. Ia hanya mengikuti permintaan Roy, yang saat itu adalah pacarnya. Karena sudah ada perasaan, ya, mungkin dituruti. Tapi sekarang justru dia yang dijadikan tersangka,” ungkap salah satu anggota tim kuasa hukum Poppi.
Pihak kuasa hukum menyebut, setelah video itu tersebar, Poppi segera meminta Roy untuk menghapus seluruh konten tersebut.
Namun permintaan itu diabaikan. Roy dan dua pelaku lain telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman, namun ironisnya, Poppi kini diseret dalam proses hukum sebagai tersangka.
Berstatus Tersangka Setelah Berkas Perkara Dinyatakan Lengkap
Setelah penyidik Polrestabes Makassar menyatakan berkas perkara lengkap atau P21, status hukum Poppi resmi dinaikkan menjadi tersangka.
Hal inilah yang kemudian memantik pertanyaan dari tim hukum dan aktivis sosial yang mendampingi kasus ini.
Mereka mempertanyakan dasar penetapan tersangka terhadap seseorang yang sebelumnya sudah diakui sebagai korban oleh sistem peradilan.
“Kami sangat berharap kejaksaan bisa memberikan penangguhan penahanan dan mempertimbangkan kembali status hukum ini. Sudah jelas ada bukti dan putusan pengadilan yang menyatakan Poppi sebagai korban. Jangan sampai korban kembali jadi korban karena kekeliruan penegakan hukum,” lanjut Agung Gunawan.
BACA JUGA:
Advokat di Makassar di Laporkan ke Polisi Gegara Bela Klien dalam Sengketa AAS Building
Sore Ini Kapolri Sambangi Paccerakkang Makassar, Brimob Disiagakan
Lokasi Kejadian di Gowa, Tapi Ditangani Polrestabes Makassar
Salah satu hal yang juga disoroti adalah lokasi kejadian perkara.
Tim kuasa hukum mengungkapkan bahwa kejadian asusila tersebut berlangsung di Kabupaten Gowa.
Namun proses hukum justru ditangani oleh Polrestabes Makassar.
Mereka menduga alasan pemindahan penanganan perkara karena domisili para pihak berada di Kota Makassar, meski belum ada penjelasan resmi dari pihak penyidik.
Hal ini dianggap sebagai bentuk ketidakkonsistenan penanganan perkara yang berpotensi memengaruhi objektivitas dan validitas proses hukum.
Tim kuasa hukum meminta kepastian hukum yang transparan serta perlindungan maksimal terhadap korban kekerasan seksual digital.
Desakan terhadap Aparat Penegak Hukum untuk Lebih Sensitif terhadap Korban
Agung Gunawan dan tim hukum juga menyerukan agar aparat penegak hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan, mulai membangun perspektif baru dalam menangani kasus kekerasan seksual berbasis digital.
Menurut mereka, banyak korban yang justru mengalami kriminalisasi akibat kurangnya pemahaman aparat terhadap dinamika relasi kuasa dan psikologis dalam hubungan pelaku dan korban.
“Ini bukan hanya soal hukum, ini soal kemanusiaan. Jangan sampai korban yang sudah dihancurkan martabat dan privasinya, malah dihancurkan lagi oleh sistem hukum. Ini harus dihentikan,” tegas Agung.
Kasus Poppi kini menjadi sorotan publik dan aktivis perempuan di Sulawesi Selatan.
Banyak pihak menilai kasus ini bisa menjadi preseden buruk apabila aparat tidak segera melakukan evaluasi menyeluruh.
Tim kuasa hukum telah menyampaikan permohonan resmi penangguhan kepada Kejari Makassar dan berencana melayangkan gugatan praperadilan jika keberatan mereka tidak ditanggapi.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa sistem hukum Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam melindungi korban kekerasan seksual, khususnya yang terjadi di ranah digital.
Perlindungan dan keadilan bagi korban seharusnya menjadi prioritas utama, bukan justru memperburuk penderitaan mereka melalui proses hukum yang kontradiktif (*).
BTN|Editor: Arya R. Syah
=========================

















