PBNU Terbelah Soal Keabsahan Surat yang Copot Gus Yahya dari Kursi Ketua Umum

PBNU Terbelah Soal Keabsahan Surat yang Copot Gus Yahya dari Kursi Ketua Umum
Katib Syuriyah PBNU KH Ahmad Tajul Mafakhir saat menjelaskan kronologis surat terkait Gus Yahya, Jakarta, Kamis (27/11/2025) (Foto: Istimewa).

BERITA KOTA ONLINE, SURABAYA – Polemik di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memuncak setelah tersebarnya surat keputusan rapat harian Syuriyah yang menyatakan Gus Yahya Cholil Staquf tidak lagi menjabat Ketua Umum.

Surat yang bernomor 4785 ini ditandatangani Wakil Rais Aam KH Afifuddin Muhajir dan Katib Syuriyah KH Ahmad Tajul Mafakhir pada 25 November 2025.

Namun, dokumen yang beredar memunculkan kontroversi karena dianggap tidak sah secara administrasi.

Katib Syuriyah KH Sarmidi Husna menegaskan, meski surat belum dibubuhi stempel elektronik Peruri karena kendala teknis, dokumen tersebut tetap sah secara formal.

Ia menjelaskan bahwa staf Syuriyah yang dimandati membubuhkan stempel menghadapi masalah akses, sehingga surat yang tersebar masih bertuliskan “draft”.

Menurutnya, persoalan teknis ini tidak mengurangi keabsahan dokumen sebagai keputusan rapat Syuriyah PBNU.

“Kami ingin menegaskan bahwa surat edaran Nomor 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025 yang ditandatangani Wakil Rais Aam dan Katib adalah benar dan sah,” kata KH Sarmidi dalam konferensi pers di Senayan, Jakarta, Kamis (27/11/2025).

Ia menambahkan, kendala stempel digital akan dijelaskan lebih lanjut oleh staf yang berwenang.

BACA JUGA:

Sejarah Baru PBNU: Gus Yahya Staquf Diberhentikan dari Kursi Ketua Umum

Pemkot Makassar Gelar Pameran Arsip Makassar Tempo Doeloe

Namun, Wakil Ketua Umum PBNU Amin Said Husni menegaskan pandangan berbeda. Ia menyebut dokumen itu tidak sah karena tidak memenuhi ketentuan administrasi organisasi.

Amin menjelaskan, surat resmi PBNU harus ditandatangani oleh empat unsur: Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum, dan Sekretaris Jenderal. Surat 4785 yang beredar tidak memenuhi standar tersebut, bahkan memuat watermark “DRAFT” dan gagal diverifikasi melalui sistem digital PBNU.

“Surat resmi PBNU harus mengikuti prosedur administrasi lengkap, termasuk stempel digital Peruri dan QR code.

Dokumen yang beredar tidak memenuhi standar tersebut, sehingga tidak bisa dijadikan dasar hukum,” tegas Amin.

Ia juga meminta seluruh pengurus dan warga NU memverifikasi keaslian dokumen melalui sistem resmi verifikasi.surat.nu.id atau Peruri Code Scanner.

Gus Yahya sendiri menanggapi tegas permasalahan ini. Ia menegaskan bahwa surat yang memutuskan pemberhentiannya tidak sah dan tidak bisa dijadikan dasar dokumen resmi PBNU.

Menurutnya, semua prosedur administratif harus terpenuhi, termasuk tanda tangan dari unsur Syuriyah maupun Tanfidziyah. Tanpa prosedur ini, dokumen tersebut hanya sekadar draf yang tidak memiliki kekuatan legal.

Polemik ini menunjukkan adanya dualisme pandangan di tubuh PBNU terkait mekanisme administrasi dan legalitas keputusan.

Meski begitu, Gus Yahya memilih menekankan pentingnya tertib administrasi dan prosedur resmi dalam organisasi sebesar PBNU, sambil meminta seluruh pihak tetap tenang menunggu keputusan final yang sah.

Situasi ini menjadi sorotan publik karena memunculkan pertanyaan terkait transparansi dan prosedur internal organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, sekaligus menegaskan perlunya mekanisme digital dan administrasi yang kuat agar tidak terjadi kesalahpahaman di masa depan. (*)

Pewarta: Kin Ekin Marco

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *