Oleh: Muhammad Fadli Naro, SH
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Dirasah Islamiyah Konsentrasi Syariah/Hukum Islam Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Dosen pengampu: Prof. Dr. H. Mustari Mustafa, M.Pd.
BERITAKOTAONLINE.ID – Insiden pengeroyokan mahasiswa oleh oknum polisi di Mamuju, Sulawesi Barat dimalam Tahun Baru 1 Januari 2025, memunculkan pertanyaan mendalam: Bagaimana moralitas dan integritas yang seharusnya melekat pada institusi Polri diterapkan dalam kehidupan nyata?
Apakah tindakan oknum tersebut mencerminkan kegagalan individu semata, atau ada persoalan struktural yang lebih besar dalam institusi Polri?
Artikel ini mengupas kasus tersebut melalui pendekatan filsafat moral, dengan menyoroti pentingnya nilai-nilai etika, integritas, dan tanggung jawab sosial dalam institusi yang bertugas melindungi masyarakat.
Selain itu, artikel ini juga menawarkan refleksi dan rekomendasi untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Tujuan utama dari artikel ini adalah:
1. Mengidentifikasi akar persoalan moralitas dan integritas di tubuh Polri.
2. Mengusulkan langkah-langkah berbasis filsafat moral untuk memperbaiki kelemahan dalam institusi.
3. Mendorong diskusi publik mengenai peran masyarakat dalam mengawasi dan mendukung reformasi Polri.
Dengan memanfaatkan pandangan para filsuf seperti Aristoteles, Kant, dan Habermas, serta Akademisi Prof. Dr. H. Mustari Mustafa, artikel ini akan menggali solusi yang tidak hanya berfokus pada sanksi hukum, tetapi juga pada transformasi nilai-nilai moral dalam institusi kepolisian.
Filsafat moral menawarkan kerangka untuk menganalisis tindakan manusia, termasuk dalam profesi seperti kepolisian.
Dengan menggunakan perspektif moralitas, kita dapat menggali akar persoalan dan menawarkan solusi yang tidak hanya bersifat teknis tetapi juga berlandaskan etika yang kokoh.
Mengapa Moralitas Penting dalam Institusi Publik?
Moralitas bukan sekadar norma abstrak, tetapi panduan nyata dalam menjalankan tugas publik.
Polisi memiliki tanggung jawab yang tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga moral.
Ketika moralitas diabaikan, dampaknya meluas—tidak hanya pada korban kekerasan, tetapi juga pada masyarakat yang kehilangan rasa percaya terhadap institusi tersebut.
Aristoteles menekankan bahwa kebajikan moral harus dibentuk melalui pembiasaan dan lingkungan yang kondusif.
Jika institusi Polri membiarkan budaya kekerasan atau pembiaran terhadap pelanggaran, maka moralitas individu akan tergerus.
Oleh karena itu, pendidikan moral di Polri harus menjadi prioritas, mulai dari pelatihan awal hingga pembinaan berkelanjutan
Moralitas sebagai Pondasi Tindakan Aparat
Moralitas merujuk pada prinsip-prinsip yang membedakan antara tindakan yang dianggap benar atau salah.
Dalam institusi seperti Polri, moralitas menjadi pondasi utama yang mengarahkan setiap tindakan anggotanya.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menegaskan bahwa tugas kepolisian mencakup memelihara keamanan, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat.
Ketika oknum polisi melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat, termasuk pengeroyokan mahasiswa, mereka tidak hanya melanggar hukum tetapi juga prinsip moral yang melekat pada tugas mereka.
Menurut filsuf Immanuel Kant, moralitas adalah kewajiban untuk bertindak sesuai dengan prinsip universal yang dapat diterima oleh semua pihak.
Dalam kasus ini, tindakan pengeroyokan jelas melanggar prinsip tersebut. Polisi yang seharusnya menjadi teladan dalam menegakkan hukum justru mencederai nilai-nilai moralitas universal seperti keadilan, penghormatan terhadap martabat manusia, dan tanggung jawab sosial.
Integritas Polisi: Krisis Nilai atau Sistemik?
Integritas adalah kualitas yang mencerminkan kejujuran, konsistensi, dan keselarasan antara nilai moral dan tindakan.
Institusi Polri sering kali menghadapi kritik terkait integritas anggotanya. Dalam kasus Mamuju, muncul pertanyaan apakah tindakan oknum polisi tersebut mencerminkan kegagalan individu atau kelemahan sistemik dalam institusi Polri.
Dalam kajian filsafat moral, Aristoteles berpendapat bahwa kebajikan (virtue) hanya dapat dibangun melalui pembiasaan dan pendidikan moral.
Artinya, integritas polisi tidak hanya bergantung pada individu, tetapi juga pada budaya institusi yang mendukung pembentukan karakter moral setiap anggotanya.
Jika institusi gagal menyediakan pelatihan moral yang memadai atau membiarkan budaya kekerasan berkembang, maka tindakan amoral seperti pengeroyokan bukanlah hal yang mengherankan.
Prof. Dr. H. Mustari Mustafa, seorang akademisi terkemuka dalam bidang moral, sosial, dan politik, menekankan pentingnya kritik dan bimbingan moral dalam menghadapi tindakan amoral.
Menurutnya, setiap elemen masyarakat, termasuk aparat, harus dikritik jika melanggar norma moral.
Kritik ini tidak hanya bertujuan untuk menghukum, tetapi juga untuk memberikan bimbingan yang dapat mencegah tindakan serupa di masa depan.
Dalam konteks Polri, kritik terhadap tindakan amoral oknum polisi harus diikuti dengan pembenahan institusi.
Misalnya, penguatan pendidikan moral dalam pelatihan kepolisian, pemberian sanksi tegas terhadap pelanggaran etika, dan pengawasan yang ketat terhadap perilaku anggota di lapangan.
Tanggung Jawab Moral dan Sosial Kapolri
Dalam konteks institusi negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memiliki mandat besar untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan melindungi masyarakat.
Namun, kasus pengeroyokan mahasiswa oleh oknum polisi di Mamuju, Sulawesi Barat, menjadi ironi dari tugas dan fungsi tersebut.
Insiden ini tidak hanya mencoreng nama baik Polri, tetapi juga memunculkan pertanyaan mendalam tentang moralitas, integritas, dan etika yang seharusnya melekat pada institusi ini.
Sebagai pemimpin tertinggi Polri, Kapolri memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk menjaga integritas institusi.
Tanggung jawab ini mencakup memastikan bahwa setiap anggota Polri memahami dan menjalankan tugasnya sesuai dengan prinsip moral dan etika.
Kasus Mamuju menjadi ujian bagi Kapolri untuk menunjukkan komitmen dalam menegakkan integritas institusi.
Dalam filsafat moral utilitarianisme, tindakan dinilai berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan umum.
Kapolri harus mengambil langkah-langkah yang tidak hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
Langkah ini dapat mencakup pengusutan tuntas kasus, transparansi dalam proses hukum, dan reformasi internal untuk mencegah kasus serupa terulang.
Refleksi Sosial: Peran Mahasiswa dan Masyarakat
Kasus ini juga menyoroti pentingnya peran mahasiswa dan masyarakat dalam mengawal moralitas institusi publik.
Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar (UINAM) telah menyuarakan kritik terhadap tindakan oknum polisi di Mamuju.
Dalam kajian filsafat sosial, kritik seperti ini merupakan bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga nilai-nilai moral di ruang publik.
Filsuf sosial seperti Jürgen Habermas menekankan pentingnya komunikasi dan diskusi publik dalam menciptakan konsensus moral.
Dengan mengangkat isu ini ke ranah publik, mahasiswa UINAM tidak hanya mengkritik, tetapi juga mengajak masyarakat untuk bersama-sama mendorong perubahan.
Rekomendasi Berbasis Filsafat Moral
Rekomendasi berdasarkan pertanyaan yang mendasar yang diajukan sebelumnya, berangkat dari kajian moralitas, integritas, dan filsafat sosial, berikut adalah beberapa rekomendasi untuk mencegah kasus serupa di masa depan:
1. Apakah kegagalan individu atau kelemahan sistemik yang menjadi akar masalah?
Kegagalan ini kemungkinan besar merupakan kombinasi keduanya.
Individu yang melakukan pelanggaran jelas kurang memiliki integritas moral. Namun, institusi juga memiliki tanggung jawab besar jika budaya organisasi gagal menanamkan nilai-nilai moral.
Adapun rekomendasi yang dapat dilakukan evaluasi sistemik terhadap budaya organisasi Polri. Terapkan kebijakan “zero tolerance” terhadap pelanggaran moral dan hukum.
Penerapan Sanksi Tegas dan Transparan.
Oknum polisi yang melanggar harus menerima sanksi tegas, baik secara etik maupun pidana. Transparansi dalam proses hukum penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.
Selain itu, Polri perlu mengembangkan budaya pengawasan internal yang efektif. Setiap tindakan anggota harus diawasi dan dievaluasi untuk memastikan kesesuaian dengan standar moral dan profesional.
2. Bagaimana memastikan moralitas menjadi nilai utama dalam institusi Polri?
Untuk memastikan moralitas menjadi inti dari institusi, pendidikan moral dan etika harus menjadi elemen sentral dalam pelatihan dan pembinaan anggota Polri.
Adapun rekomendasi yang dapat dilakukan adalah memperkuat kurikulum pelatihan Polri dengan pendekatan filsafat moral.. Termasuk mengadakan pelatihan berkelanjutan yang melibatkan pakar etika dan moralitas.
Penguatan Pendidikan Moral dalam Polri
Pendidikan moral harus menjadi bagian integral dari pelatihan kepolisian. Materi ini tidak hanya mencakup teori, tetapi juga praktik yang menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan martabat individu.
Disamping itu, “Kapolri dan pimpinan disetiap tingkatan harus menjadi teladan dalam integritas dan moralitas. Kepemimpinan yang berbasis etika dapat menciptakan budaya yang positif dalam institusi”.
3. Apa peran masyarakat dalam memperkuat moralitas Polri?
Masyarakat memiliki peran penting dalam mengawasi dan mendukung reformasi Polri. Partisipasi aktif melalui kritik konstruktif, pelaporan pelanggaran, dan diskusi publik dapat menjadi tekanan moral bagi Polri untuk terus memperbaiki diri.
Adapun rekomendasi yang dapat dilakukan adalah membuat mekanisme pengawasan yang melibatkan masyarakat secara langsung. Serta mendorong transparansi dalam penanganan kasus pelanggaran, termasuk laporan berkala mengenai kinerja Polri.
Masyarakat, termasuk mahasiswa, perlu dilibatkan dalam upaya reformasi Polri. Forum diskusi, kritik konstruktif, dan kerja sama antara institusi dan publik dapat memperkuat moralitas institusi.
Kesimpulan
Kasus pengeroyokan mahasiswa oleh oknum polisi di Mamuju bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga masalah moralitas dan integritas yang lebih mendalam.
Dengan menganalisis melalui perspektif filsafat moral, kita dapat memahami bahwa solusi yang diperlukan harus mencakup pembenahan nilai-nilai moral dalam tubuh Polri, selain penegakan hukum yang tegas.
Mahasiswa dan masyarakat memiliki peran penting dalam mengawal perubahan ini. Kritik, diskusi, dan partisipasi aktif dapat menjadi katalis untuk menciptakan Polri yang benar-benar menjadi pengayom dan pelindung masyarakat sesuai dengan nilai-nilai moral universal.
Kapolri, sebagai pemimpin, harus mengambil langkah tegas untuk memastikan bahwa kasus seperti di Mamuju tidak lagi mencoreng nama baik institusi.
Hanya dengan mengedepankan moralitas, integritas, dan tanggung jawab sosial, Polri dapat meraih kembali kepercayaan masyarakat dan menjalankan tugasnya dengan penuh kehormatan (*).
Editor: Arya R. Syah
Baca Artikel:
Mengulas Dampak Kenaikan PPN 12%: “Perspektif Filsafat Politik dan Moral”
Mengupas Sikap Toleransi Masyarakat Toraja di Tengah Keberagaman Agama
Sindikat Uang Palsu di Kampus: “Perspektif Filsafat dan Moralitas”
Baca juga:
Oknum Polisi Keroyok Mahasiswa di Mamuju, Propam Polda Sulbar: Pelaku Utama Ditangkap
====================