MAKASSAR– Miris, itulah yang dirasakan seorang gadis remaja berinisial SFNA (17) hingga akhirnya mengambil keputusan besar dalam hidupnya: kabur dari apartemen milik ayahnya di Singapura dan mencari perlindungan di rumah pamannya di Makassar.
SFNA mengaku bahwa ia tidak ingin dipulangkan kepada ibu kandungnya di Jakarta, karena selama ini ia merasa mengalami tekanan fisik dan mental yang berat dari ibunya sendiri.
Hal tersebut diungkapkan, SFNA saat ditemui di kediaman pamannya dan tantenya di Jalan Bayam, Makassar, pada Sabtu (7/6/2025).
SFNA menceritakan pengalaman hidup yang pahit. Sejak kecil, ia tidak pernah benar-benar merasakan kebebasan sebagaimana anak-anak lain seusianya.
Ia mengaku, hampir setiap hari hanya diberi tugas-tugas rumah tangga, bahkan diminta membantu pekerjaan bisnis orang tuanya.
“Saya tidak pernah punya waktu untuk jadi anak-anak. Di rumah, saya hanya tahu kerja, dari pagi sampai malam. Disuruh bersih-bersih, masak, bahkan disuruh buat dokumen kerjaan ayah. Rasanya seperti bukan anak, tapi seperti asisten rumah tangga,” tuturnya dengan suara pelan dan mata berkaca-kaca.
Lebih lanjut, ia membeberkan bahwa selama ini dirinya tinggal di apartemen milik ayahnya dan beberapa kali bolak-balik ke Makassar.
Namun saat ayahnya berniat mengembalikannya ke ibu kandung, ia memilih kabur. Kedatangannya ke Makassar dilakukan tanpa pendamping siapa pun. Ia menempuh perjalanan seorang diri dari Singapura demi mencari tempat yang dianggap lebih aman.
Namun sayangnya, orang tuanya justru melaporkan dugaan penculikan ke pihak kepolisian, yang menyasar paman dan tantenya yang kini memberikan perlindungan.
“Saya datang sendiri ke sini. Tidak ada yang jemput atau paksa saya. Saya cuma ingin jauh dari tekanan dan bisa bernapas lega,” ucap SFNA.
Lebih lanjut, SFNA juga mengungkap bahwa dirinya kerap diminta mengetik faktur dan dokumen-dokumen bisnis ayahnya, sebuah beban kerja yang jelas tidak semestinya diberikan kepada anak sekolah.
BACA JUGA;
DPRD Makassar Sosialisasikan Perda Perlindungan Anak, Basdir Ajak Masyarakat Aktif Cegah Kekerasan
Ia juga menyebut sering dimarahi ketika melakukan kesalahan kecil, tanpa pernah diberi ruang untuk belajar atau tumbuh secara wajar.
“Saya cuma pengen bisa sekolah dan punya masa depan. Tapi selama ini aku selalu dibentak kalau kerjaanku salah. Saya bahkan nggak tahu salahku apa. Aku cuma anak kecil yang pengen hidup tenang,” tuturnya dengan lirih.
Saat ini SFNA menjalani pendampingan psikologis dari LPA dan LMR-RI. Meskipun berada di lingkungan yang lebih aman, proses pemulihan mentalnya diperkirakan akan berlangsung lama.
Keributan sempat terjadi di rumah paman SFNA di jalan Bayam saat kedua orang tuanya datang untuk mengambilnya. Tim Jatanras Polrestabes Makassar terlihat turut berada di lokasi dan menenangkan situasi.
Pihak keluarga SFNA di Makassar mengaku langsung menghubungi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Makassar untuk memberikan pengamanan dan melakukan pelaporan resmi ke Polda Sulawesi Selatan, khususnya ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), terkait dugaan eksploitasi dan penganiayaan.
Menurut penuturan salah satu pendamping dari keluarga, kondisi SFNA saat tiba sangat memprihatinkan dan menunjukkan tanda-tanda trauma berat.
“Kami langsung ambil langkah cepat karena melihat kondisi anak yang secara psikis sudah sangat lelah. Sekarang dia berada dalam pengawasan lembaga perlindungan anak,” kata salah satu keluarganya itu.
Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia (LMR-RI) Komisariat Wilayah Sulawesi Selatan juga ikut angkat bicara. Ketua Komwil, Andi Idham Jaya Gaffar, S.H., M.H., menilai kasus ini sangat serius dan harus dikawal oleh lembaga-lembaga tinggi negara seperti KPAI, Komnas HAM, Kompolnas, dan Komisi III DPR RI.
Ia mendesak agar proses hukum berjalan tanpa intervensi dari pihak mana pun.
“Kami khawatir ada kekuatan di balik layar karena orang tua anak ini punya akses kuat ke sejumlah aparat hukum. Negara harus hadir untuk melindungi hak anak, bukan membiarkannya jadi korban dua kali,” ungkapnya.
Idham juga menyerukan peran media nasional untuk mengawal kasus ini agar tidak tenggelam atau dikaburkan oleh kekuasaan.
“Kekerasan terhadap anak, apalagi yang dilakukan oleh orang tua sendiri, adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa ditoleransi,” tegasnya (*).
Redaksi