MAKASSAR – Setelah melalui berbagai tekanan dan ketidakpuasan terhadap penanganan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, ibu sambung korban berinisial H (33) mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Pengaduan ini terkait dengan dugaan pencabulan yang dialami oleh putri sambungnya, seorang bocah berusia 6 tahun, yang terjadi di Kelurahan Banta-Bantaeng, Kecamatan Rappocini, Makassar.
Sebelumnya H mengungkapkan bahwa dirinya merasa tidak mendapatkan perlindungan yang cukup dari pihak kepolisian setempat, terutama setelah pelaku berinisial AL (35) yang merupakan paman korban, dibebaskan hanya dua hari setelah penangkapannya pada 7 Mei 2025.
H juga menyatakan bahwa pihak penyidik diduga menyarankan agar ia mencabut laporannya, sebuah tindakan yang semakin memicu kekhawatirannya terhadap keselamatan dan keamanan dirinya serta anak yang menjadi korban.
Tekanan Keluarga Pelaku dan Ancaman bagi Pelapor
Tekanan yang diterima oleh H semakin berat, mengingat hubungan darah pelaku dengan ayah biologis korban.
H merasa terancam karena keluarga pelaku yang memiliki kedekatan dengan ayah korban, diduga melakukan berbagai upaya untuk mempengaruhi keputusan hukum.
“Saya terus didesak cari saksi, bahkan diminta cabut laporan. Sekarang pelaku katanya sudah di rumah lagi. Saya takut karena keluarga pelaku itu dekat dengan ayah korban,” keluh H.
Berdasarkan kejadian tersebut, H memutuskan untuk mencari perlindungan lebih lanjut ke LPSK.
BACA JUGA:
Pencabulan Anak di Bawah Umur Selama 7 Tahun Terungkap di Kendari, Terjadi Sejak Korban Masih SD
Ia berharap bahwa dengan bantuan LPSK, proses hukum dapat berjalan lebih transparan dan tanpa adanya tekanan dari pihak-pihak yang memiliki konflik kepentingan dalam kasus ini.
Pengamat Sosial Soroti Konflik Kepentingan dalam Kasus Ini
M. Jupri, seorang pengamat sosial di Makassar, menilai bahwa kasus ini memperlihatkan lemahnya perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak-anak.
Menurut Jupri, hubungan darah pelaku yang merupakan saudara kandung ayah korban menambah potensi konflik kepentingan dalam proses penyelidikan.
“Seharusnya ini menjadi pertimbangan serius bagi penyidik untuk melindungi pelapor, bukan malah melemahkannya. Pihak kepolisian harus memprioritaskan keselamatan korban dan pelapor dalam setiap proses hukum,” ujarnya.
Bukti Medis Menguatkan Dugaan Kekerasan Seksual
Selain pengaduan terhadap penyidik, bukti medis yang dikeluarkan oleh pihak rumah sakit semakin menguatkan dugaan adanya kekerasan seksual yang dialami korban.
Diagnosa medis menunjukkan bahwa korban mengalami trauma fisik dan psikis, termasuk pulpa vaginitis dan infeksi pada alat vital korban.
H berharap agar bukti-bukti medis ini bisa mempercepat proses hukum dan memastikan bahwa pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal.
Perlindungan Hukum untuk Korban dan Pelapor
Makmur, Ketua Tim Reaksi Cepat (TRC) UPT PPA Kota Makassar, menegaskan bahwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan, negara harus memberikan perlindungan hukum yang maksimal kepada korban dan pelapor.
“UU TPKS, UU Perlindungan Anak, dan UU Perlindungan Saksi dan Korban jelas mengatur bahwa saksi dan korban tidak boleh ditekan dalam proses hukum,” ujar Makmur.
Melalui permohonan perlindungan ke LPSK, H berharap agar tidak ada lagi upaya intimidasi terhadapnya dan agar proses hukum dapat berjalan dengan adil tanpa adanya pengaruh dari pihak-pihak yang terkait dengan pelaku.
Kasus ini semakin menggarisbawahi pentingnya perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak-anak.
Perlindungan yang maksimal bagi pelapor dan korban sangat dibutuhkan agar proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan.
Masyarakat juga menantikan agar pihak kepolisian, dalam hal ini Polrestabes Makassar, dapat lebih responsif dan profesional dalam menangani kasus serupa di masa depan, serta memberikan rasa aman dan perlindungan bagi pihak yang terlibat dalam upaya mencari keadilan (*).
Redaksi