OPINI  

Diskresi KPU dan Putusan MK: Kasus Pilwalkot di Palopo Ujian Konsistensi Hukum Pemilu

Diskresi KPU dan Putusan MK: Kasus Pilwalkot di Palopo Ujian Konsistensi Hukum Pemilu
William Marthom, Opini: Diskresi KPU dan Putusan MK: Kasus Pilwalkot di Palopo Uji Konsistensi Hukum Pemilu (Foto: Yustus)

Diskresi KPU dan Putusan MK: Kasus Pilwalkot di Palopo Ujian Konsistensi Hukum Pemilu

Oleh: William Marthom
Pemerhati Pemilu dan Demokrasi

BERITAKOTAONLINE – Dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kekuatan hukum yang final dan mengikat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan diperkuat oleh berbagai yurisprudensi.

Finalitas putusan MK dimaksudkan agar tidak terjadi perdebatan berkepanjangan dan agar tercipta kepastian hukum dalam pelaksanaan pemilu sebagai salah satu instrumen utama demokrasi.

Namun demikian, dalam praktik penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), masih ditemukan ketegangan antara norma hukum yang rigid dengan pelaksanaan administratif oleh lembaga penyelenggara pemilu.

Salah satu studi kasus yang cukup relevan adalah Pilkada Kota Palopo 2024, khususnya yang menyangkut pencalonan kembali Ahmad Syarifuddin Daud (Ome) dalam pemungutan suara ulang (PSU) pasca putusan MK.

Dalam Surat KPU RI Nomor 690/PL.02.2-SD/06/2025 tanggal 7 April 2025, KPU RI secara eksplisit mengutip pertimbangan hukum MK yang menyatakan bahwa verifikasi berkas tidak berlaku lagi bagi Ome jika diajukan kembali, baik sebagai calon wali kota maupun wakil wali kota.

Hal ini merupakan bentuk implementasi dari asas res judicata pro veritate habetur—bahwa putusan pengadilan dianggap benar dan harus dijalankan.

Dengan demikian, seharusnya tidak ada ruang untuk membuka kembali proses verifikasi berkas pencalonan Ome.

Namun kenyataan menunjukkan sebaliknya. KPU Provinsi Sulawesi Selatan tetap memberikan kesempatan kepada Ome untuk melengkapi syarat pencalonan, termasuk pengumuman sebagai mantan terpidana.

Padahal, pengumuman tersebut merupakan syarat substantif, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK No. 87/PUU-XX/2022, dan bukan sekadar formalitas administratif.

Tindakan ini memunculkan pertanyaan serius: apakah diskresi administratif KPU dapat mengesampingkan norma konstitusional?

Diskresi dalam hukum administrasi negara memang diakui, terutama untuk mengisi kekosongan hukum atau menangani kondisi luar biasa.

Namun, diskresi tidak dapat dilakukan apabila sudah ada norma yang jelas dan mengikat, apalagi berupa putusan pengadilan konstitusi.

Dalam teori hukum administrasi modern, diskresi yang bertentangan dengan putusan pengadilan masuk dalam kategori ultra vires—tindakan di luar kewenangan.

Kasus Palopo menjadi menarik jika dibandingkan dengan kasus Pilkada Pasaman, di mana seorang calon wakil bupati didiskualifikasi karena gagal mengumumkan status mantan terpidana.

Dalam kasus tersebut, MK memerintahkan PSU tanpa mengikutsertakan calon bersangkutan. Inkoherensi penegakan hukum antara dua kasus serupa ini membuka ruang bagi kritik atas inkonsistensi lembaga penyelenggara pemilu.

Dari perspektif akademik, hal ini menyentuh isu mendasar mengenai rule of law dalam demokrasi elektoral. Kepastian hukum (legal certainty) bukan sekadar jargon, melainkan pilar utama dalam menjamin integritas pemilu.

Bila ketentuan hukum dapat dinegosiasikan atau diabaikan oleh diskresi institusional, maka keadilan elektoral berada dalam bahaya.

Pemberian kesempatan kepada Ome untuk memperbaiki syarat administratif setelah putusan MK, tidak hanya bertentangan dengan prinsip finalitas hukum, tetapi juga berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap netralitas dan integritas KPU.

Dalam teori keadilan prosedural, perlakuan yang tidak konsisten terhadap subjek hukum serupa adalah bentuk diskriminasi yang merusak legitimasi proses.

Sejatinya, diskresi semestinya menjadi jembatan dalam kekosongan hukum, bukan alat untuk mengabaikan atau menabrak putusan pengadilan.

Ketika hukum telah berbicara melalui putusan MK, tugas lembaga negara adalah menjalankannya, bukan menafsirkannya kembali secara sepihak.

Kasus Ome di Palopo adalah ujian bagi konsistensi hukum pemilu kita, dan hasilnya akan berdampak jauh lebih luas daripada sekadar siapa yang menang atau kalah dalam PSU (*).

Editor: Yustus| Arya R. Syah

======================

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *