LUWU RAYA, BERITAKOTAONLINE.id – Dorongan untuk mewujudkan swasembada pangan di Indonesia kembali disuarakan, kali ini datang dari para petani di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Memasuki musim panen raya, suara dari lapangan meminta agar Perum Bulog tidak hanya hadir sebagai pembeli terakhir, tetapi aktif menjemput bola demi menyerap hasil panen petani secara langsung.
Ketua Kelompok Tani (Koptan) Tunas Muda Pangalli, Yustus, menegaskan bahwa proses pembelian gabah oleh Bulog selama ini masih menyulitkan petani.
Menurutnya, jalur birokrasi yang terlalu panjang dan informasi yang minim membuat banyak petani enggan menjual hasil panennya ke Bulog.
“Bulog harus permudah prosesnya. Jangan sampai petani dihadapkan dengan prosedur yang membingungkan dan tidak praktis. Kalau terlalu rumit, mereka lebih memilih menjual ke pemborong,” ujar Yustus kepada Beritakotaonline.id, Senin (7/4/2025).
Situasi di lapangan menunjukkan kecenderungan petani lebih memilih menjual gabah mereka ke tengkulak atau pemborong, meski dengan harga yang lebih rendah.
Hal ini bukan tanpa alasan. Kecepatan transaksi, kehadiran pembeli di lokasi panen, serta sistem pembayaran yang langsung menjadi daya tarik bagi petani untuk melepas gabahnya ke jalur non-resmi.
“Pemborong datang lebih dulu dan langsung transaksi di sawah. Tidak pakai tunggu lama, tidak pakai syarat yang ribet. Itu yang membuat petani merasa nyaman,” jelas Yustus.
Ia juga mengkritik buruknya sosialisasi kebijakan pembelian gabah oleh Bulog di tingkat petani.
Menurutnya, masih banyak petani yang belum mengetahui bahwa kini Bulog sudah bisa menerima gabah kering panen (GKP), tidak lagi harus gabah kering giling (GKG) seperti sebelumnya.
BACA JUGA:
Pupuk Bokashi Perumda Mekar Sejahtera Diminati Petani di Sulsel
Bulog pastikan penyerapan gabah terus dilakukan meski libur Lebaran
Ketidaktahuan ini membuat petani berasumsi bahwa menjual ke Bulog akan lebih merepotkan daripada menguntungkan.
“Perubahan kebijakan seperti ini seharusnya disampaikan secara masif kepada petani. Kalau petani tidak tahu, ya mereka tetap anggap Bulog hanya terima gabah yang sudah kering total, padahal kenyataannya sudah bisa GKP,” tambahnya.
Yustus pun berharap Bulog sebagai BUMN yang memiliki tanggung jawab langsung terhadap ketahanan pangan nasional bisa lebih aktif dan responsif terhadap kondisi di lapangan.
Ia menilai, bila Bulog mampu memangkas jalur birokrasi dan mempercepat proses serapan, maka target pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan tidak akan sulit tercapai.
“Presiden Prabowo dan Menko Pangan Pak Zulhas sudah sering bicara soal penyederhanaan birokrasi. Ini saatnya Bulog mengikuti arahan itu. Permudah petani, serap gabah mereka dengan cepat, jangan hanya tunggu di gudang,” tegasnya.
Petani, kata Yustus, adalah ujung tombak ketahanan pangan. Jika mereka tidak diberikan kemudahan dalam menjual hasil panennya, maka rantai pasokan akan terganggu dan swasembada hanya akan jadi slogan semata.
Ia mengingatkan bahwa musim panen hanya terjadi beberapa kali dalam setahun, dan dalam waktu itulah semua pihak harus bergerak cepat.
Dengan meningkatnya produksi padi di sejumlah wilayah termasuk Luwu Raya, peran Bulog semakin vital untuk menyerap gabah petani dan menjaga stabilitas harga.
Jika hal ini bisa dilakukan secara konsisten, maka kedaulatan pangan nasional akan semakin nyata di masa mendatang (*).
Megasari/Beny| Editor: Arya R. Syah
========================