OPINI  

RETRET YANG SALAH KAPRAH?

Retret Yang Salah Kaprah
Febry Silaban

RETRET Yang Salah Kaprah
Oleh: Febry Silaban, S.Fil., M.E
(Jurnalis yang aktif menulis tentang isu-isu politik dan sosial)

BERITAKOTAONLINE.id – Baru-baru ini, istilah “RETRET” menjadi perbincangan hangat setelah Presiden Prabowo Subianto menggelar retret Kabinet pada tahun lalu dan kini melanjutkannya dengan retret kepala daerah di Akademi Militer (Akmil) Magelang.

Prabowo menegaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk membangun sinergi antara para pejabat yang baru dilantik agar mereka dapat bekerja lebih harmonis dan fokus pada kepentingan rakyat.

Namun, ada hal menarik yang menggelitik. Selama ini, RETRET dikenal sebagai istilah yang kental dengan nuansa religius, khususnya dalam tradisi Katolik. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), RETRET berarti menarik diri dari rutinitas untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Lantas, bagaimana istilah ini tiba-tiba diadopsi dalam dunia politik dan pemerintahan?

Secara etimologis, retret berasal dari bahasa Latin re-trahere, yang berarti “menarik kembali” atau “menyeret ke belakang.” Dalam konteks agama, ini berarti menyepi untuk berefleksi, berdoa, dan mencari makna hidup yang lebih dalam. Konsep ini sangat berbeda dari retret versi pemerintah yang justru berisi ceramah, latihan fisik, dan kegiatan baris-berbaris ala militer.

Retret adalah sarana berefleksi, berdoa, atau bermeditasi. Berdiam diri. Berdialog dengan Tuhan dan diri sendiri. Suatu pengalaman doa yang intensif, suatu pertemuan dengan Tuhan. Suatu keinginan “to be alone with God”, kesediaan untuk mendengarkan apa yang Tuhan ingin katakan kepada Anda dan tentang Anda, sekarang di sini.

Tradisi religius ini bertujuan membina dan meningkatkan iman dalam diri setiap umat.

Kegiatan rohani yang mirip dengan retret adalah *rekoleksi.* Rekoleksi juga merupakan bentuk pembinaan iman yang diberikan kepada umat (Katolik).

Pada dasarnya, rekoleksi sama dengan retret, kecuali durasi penyelenggaraannya. Jika retret dilaksanakan dalam waktu dua hingga tiga hari, rekoleksi dilakukan dalam waktu beberapa jam saja.

Jika mengacu pada makna aslinya, jelas ada penyimpangan makna dalam penggunaan kata retret dalam konteks pemerintahan. Apakah ini sekadar kekeliruan bahasa, atau ada upaya membangun kesan mendalam pada kegiatan yang sejatinya hanya sesi koordinasi dan pelatihan kepemimpinan biasa?

Kalau merujuk pada makna asli yang dipaparkan di atas, tentu tidak tepat juga istilah retret dipakai. Maknanya jauh sekali. Ada salah kaprah. Atau, jangan-jangan mulai ada peyorasi makna?

Selain itu, ada hal lain yang cukup ironis. Beberapa media masih menggunakan istilah retreat dalam bahasa Inggris, sementara sebagian orang justru melafalkannya dengan “ret-ret”—dua kesalahan yang tampaknya sepele, tetapi mencerminkan ketidaktelitian dalam memahami bahasa.

Seharusnya istilah yang benar dalam bahasa Indonesia adalah RETRET. Cara baca yang benar: “RE-TRET“.

Tradisi retret sendiri sebenarnya bukan sekadar agenda seremonial. Dalam ajaran Katolik, retret adalah perjalanan spiritual yang mendalam, di mana seseorang benar-benar berdiam diri untuk mendengarkan suara hati dan kehendak Tuhan. Bahkan, Yesus sendiri sering membawa murid-murid-Nya ke tempat sunyi untuk merenungkan hidup dan pelayanan mereka.

Cukup sering Yesus mengajak dan bersama murid-muridNya meninggalkan keramaian dengan tugas dan pelayanan mereka dan mengasingkan diri atau pergi ke tempat tersendiri dan sunyi.

Di tempat ini mereka berdoa, menyanyikan pujian-pujian, dan bercakap-cakap tentang hidup dan pelayanan mereka selanjutnya (lihat Mat 6:31; Mrk 3:7 dan 13; 4:1; 6:46-47; 9:2; dan 14:32).

Saya jadi teringat pernah cukup lama menjadi pembina dan pembimbing retret bagi siswa-siswi (SMA St. Thomas 1,2,3 Medan; SMP dan SMA St. Maria Medan, SMA Budi Murni Medan, SMA Budi Mulia Pematangsiantar, SMA Bintang Timur Pematangsiantar, SMA BTB Balige, SMA-SMA dari Kabanjahe, Saribudolok, Pakkat, Samosir, dan banyak lagi yang gak saya ingat), ibu-ibu WKRI, anak muda OMK, etc.

Salah satu sesi yang paling diingat siswa adalah “acara tangis-tangisan” pada malam hari, ketika meratapi dosa dan kesalahan diri, serta berniat untuk bertobat. Hehe…he…heee.heee.

Fenomena ini seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Jangan sampai terjadi peyorasi makna hanya demi membangun citra. Jika tujuannya adalah penguatan sinergi dan kepemimpinan, mengapa tidak memilih istilah yang lebih tepat? Atau jangan-jangan, ada kesengajaan dalam permainan diksi ini untuk memberikan kesan mendalam pada sesuatu yang sebenarnya biasa saja?

Bahasa adalah cermin budaya. Jika kita terus membiarkan istilah-istilah digunakan tanpa pemahaman yang benar, kita sedang membiarkan makna dan identitas kita terkikis secara perlahan (*).

Editor: Yustus |Arya R. Syah

========================

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *