MAKASSAR – Sidang praperadilan antara Poppy Murtiyanti dan Polrestabes Makassar dengan nomor perkara 3/Pid.Pra/2025/PN.Mks masih terus berlanjut di Pengadilan Negeri Makassar.
Kasus ini menarik perhatian publik karena pihak pemohon menilai penetapan Poppy Murtiyanti sebagai tersangka penuh kejanggalan dan cacat prosedural.
“Penetapan tersangka terhadap klien kami tidak sah karena didasarkan pada alat bukti yang tidak valid dan cacat prosedur. Kami meminta agar hakim yang mulia memberikan keadilan dan membatalkan status tersangka ini,” ungkapnya.
Hal tersebut disampaikan kuasa hukum korban, Resa Darmawan, S.H dan Arham Iqramullah, S.H, di Makassar, Kamis (27/2/2025).
Resa Darmawan membeberkan, kasus ini bermula dari dugaan eksploitasi seksual yang melibatkan tiga orang tersangka, yaitu Elf, Ry, dan HH. Dalam proses penyidikan, dua orang tersangka pertama ditetapkan, sebelum akhirnya Elf juga dinyatakan sebagai tersangka.
Kata Reza, setelah kasus ini diputuskan oleh Pengadilan Negeri Makassar, muncul laporan baru yang menyebabkan Poppy Murtiyanti juga ditetapkan sebagai tersangka.
Reza mengungkapkan. pihak Poppy Murtiyanti menilai bahwa penetapan dirinya sebagai tersangka sangat dipaksakan.
“Poppy mengaku sempat ditahan selama 12 hari di Rumah Tahanan Titipan Polrestabes Makassar sebelum akhirnya mendapatkan penangguhan penahanan,” ungkap Reza Darmawan.
Kuasa hukum menyebutkan beberapa alasan mengajukan praperadilan, yakni karena penetapan kliennya sebagai tersangka dianggap penuh kejanggalan, di antaranya:
1. Alat Bukti yang Tidak Sah
a. Penyidik menggunakan barang bukti berupa flashdisk merek Sandisk 8GB yang diklaim berisi video berdurasi 2 menit 50 detik.
b. Barang bukti tersebut bukan milik Poppy Murtiyanti, sehingga keabsahannya dipertanyakan.
c. Flashdisk tersebut juga tidak diperiksa oleh Laboratorium Kriminal Forensik, yang seharusnya memiliki wewenang dalam digital forensic.
2. Kesalahan Locus Delicti (Tempat Kejadian Perkara)
a. Kejadian sebenarnya terjadi di Perumahan R2000, Kabupaten Gowa, tetapi laporan polisi dibuat di Polrestabes Makassar.
b. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi hukum yang berlaku dalam kasus ini.
3. Ketidaksesuaian Tempus Delicti (Waktu Kejadian Perkara)
a. Video yang dijadikan bukti disebut dibuat pada Oktober 2022, tetapi laporan polisi baru dibuat oleh Elf pada Januari 2023.
b. Ada selisih waktu yang cukup lama antara kejadian dan pelaporan, yang dianggap tidak wajar dalam proses hukum.
c. Penyidik sudah mengetahui keberadaan video sejak 7 Agustus 2023, tetapi baru menetapkan Poppy Murtiyanti sebagai tersangka pada 23 Oktober 2024.
BACA JUGA:
Istri Trisal Tahir Diusulkan Jadi Pengganti di Pilkada Palopo 2024
Awal Puasa 1 Ramadhan 2025 Versi Pemerintah, NU, Muhammadiyah, dan An-Nadzir
4. Ketiadaan Saksi Ahli dalam Sidang Praperadilan
a. Seharusnya, saksi ahli digital forensic dihadirkan untuk mengonfirmasi keabsahan alat bukti digital yang digunakan dalam kasus ini.
b. Namun, dalam sidang praperadilan, saksi ahli tidak hadir, sehingga memunculkan spekulasi bahwa alat bukti yang digunakan tidak memenuhi standar pembuktian yang sah.
Sidang Praperadilan dan Harapan Pihak Pemohon
Kuasa Hukum mengatakan, kasus Poppy Murtiyanti mengungkap berbagai kejanggalan dalam sistem hukum yang perlu diperhatikan.
Menurutnya, dengan adanya sidang praperadilan ini, masyarakat berharap agar keadilan benar-benar ditegakkan dan tidak ada kriminalisasi yang tidak semestinya.
Poppy Murtiyanti dan tim kuasa hukumnya berharap agar Hakim Wahyudi Said memberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan fakta hukum yang ada.
Mereka menekankan bahwa “penetapan Poppy Murtiyanti sebagai tersangka tidak sah secara hukum, karena didasarkan pada bukti yang tidak valid dan cacat prosedur,” pungkas Reza Darmawan.
Sekedar diketahui, sidang praperadilan Poppy ini dipimpin oleh Hakim Tunggal Wahyudi Said, S.H., M.Hum., yang memiliki rekam jejak panjang dalam dunia peradilan. Ia dikenal sebagai hakim yang tegas, profesional, dan berpegang teguh pada prinsip keadilan.
Dalam persidangan yang berlangsung sejak 21 Februari 2025, Hakim Wahyudi Said dijadwalkan akan membacakan putusan praperadilan pada 3 Maret 2025.
Pihak pemohon berharap hakim akan mempertimbangkan kejanggalan-kejanggalan yang ada dan membatalkan status tersangka yang diberikan kepada Poppy Murtiyanti.
Putusan dalam sidang praperadilan ini dapat menjadi preseden penting dalam penegakan hukum, khususnya dalam hal penggunaan alat bukti digital dalam proses penyidikan.
Jika permohonan praperadilan dikabulkan, hal ini bisa menjadi peringatan bagi aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Sebaliknya, jika permohonan ditolak, maka publik akan terus menyoroti proses hukum yang terjadi, terutama terkait prosedur penyelidikan dan pembuktian dalam kasus ini.
Keputusan akhir ada di tangan Hakim Wahyudi Said, yang diharapkan mampu memberikan putusan yang transparan, adil, dan sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku.
Apakah Poppy Murtiyanti akan mendapatkan keadilan yang diharapkannya? Semua mata kini tertuju pada 3 Maret 2025, saat putusan sidang praperadilan ini akan dibacakan (*).
Jufri|Editor: Arya R. Syah
========================