Oleh: Sri Mulyati
Mahasiswa Pascarajana (S2) Jurusan Dirasah Islamiyah Konsentrasi Syariah/Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
BERITAKOTAONLINE.ID- Pada akhir 2024, pemerintah Indonesia resmi mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
Kebijakan ini menambah daftar panjang keputusan pajak yang diambil untuk mendorong peningkatan penerimaan negara.
Namun, meski pemerintah menegaskan bahwa kenaikan ini hanya akan berlaku untuk barang dan jasa mewah, banyak pihak yang mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampaknya.
Sebagian masyarakat menganggap kenaikan tarif PPN ini akan memperburuk ketimpangan sosial, sementara yang lain melihatnya sebagai upaya mendorong pemerataan ekonomi.
Dari sudut pandang filsafat politik dan moral, kenaikan PPN 12% ini mencerminkan kompleksitas yang dihadapi negara dalam merancang kebijakan fiskal yang adil dan berkelanjutan.
Untuk itu, penting untuk menganalisis lebih dalam bagaimana kebijakan ini dapat dipahami dari perspektif keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan kewajiban moral pemerintah?
Kenaikan PPN 12%: Apa yang Dimaksud?
Sebelum kita memahami dampak kebijakan ini, kita perlu memahami terlebih dahulu apa itu PPN dan mengapa kenaikannya menjadi isu penting.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan pada konsumsi barang dan jasa, tidak hanya pada barang tertentu, tetapi juga pada setiap transaksi jual beli yang terjadi di masyarakat.
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 12%, dengan tujuan meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik.
Namun, kenaikan tarif ini hanya diterapkan pada barang dan jasa mewah, seperti mobil mewah, kapal pesiar, rumah mewah, dan sejenisnya.
Sedangkan untuk barang dan jasa lainnya, tarif PPN tetap berada pada angka 11%, yang sudah diberlakukan sejak 2022.
Berikut adalah bagian yang lebih mendalam dengan subjudul “Dinamika Politik” yang relevan dengan topik saling tuding antara PDIP dan partai pro pemerintah terkait kebijakan kenaikan PPN 12%:
Dinamika Politik: Saling Tuding Antara PDIP dan Partai Pro Pemerintah Terkait PPN 12%
Kebijakan kenaikan PPN 12% memunculkan dinamika politik yang cukup tajam, terutama dalam hubungan antara PDIP dan partai-partai pro pemerintah. PDIP, yang sebelumnya mendukung kebijakan kenaikan PPN pada periode parlemen 2019-2024, kini mengubah sikap dan menentang kebijakan tersebut setelah keputusan pemerintah untuk memberlakukan tarif baru pada barang dan jasa mewah.
Penolakan ini semakin memanas karena dianggap oleh partai pro pemerintah sebagai langkah inkonsistensi politik PDIP.
Sebagian besar partai yang berada dalam koalisi pemerintah menganggap PDIP seharusnya tidak memiliki alasan untuk menentang kebijakan yang mereka sendiri pernah dukung.
Terlebih lagi, kenaikan PPN 12% ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara, yang nantinya akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan dan pelayanan publik.
Bagi mereka, sikap PDIP yang berubah-ubah ini dianggap sebagai bentuk politisasi untuk meraih simpati publik tanpa melihat tujuan kebijakan tersebut secara keseluruhan.
Di sisi lain, PDIP berargumen bahwa kebijakan ini dapat memperburuk ketimpangan sosial, dengan hanya menyasar barang dan jasa mewah yang dikonsumsi oleh kalangan atas.
PDIP menilai bahwa keputusan ini lebih menguntungkan segelintir orang kaya dan tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat umum, terutama kalangan menengah ke bawah.
Mereka berpendapat bahwa kenaikan PPN 12% justru bisa memicu inflasi dan memberatkan rakyat, meskipun pemerintah mengklaim bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk pemerataan ekonomi.
Kebijakan PPN 12% juga mengundang kritik dari berbagai elemen masyarakat yang melihat adanya inkonsistensi dalam sikap politik partai-partai yang terlibat dalam pemerintahan.
Muncul anggapan bahwa sikap PDIP yang menentang kebijakan ini tidak semata-mata didasari oleh pertimbangan ekonomi atau keadilan sosial, tetapi lebih kepada kepentingan politik jangka pendek yang berkaitan dengan pemilu atau pergeseran kekuasaan dalam pemerintahan.
Ketegangan ini mencerminkan dinamika politik yang sering kali terjadi dalam sistem demokrasi, di mana kebijakan pemerintah tidak selalu diterima dengan sepenuh hati oleh semua pihak, terutama partai politik yang memiliki kepentingan yang berbeda.
Dalam hal ini, kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN sering kali menjadi alat pertempuran politik, dengan setiap partai berusaha menunjukkan bahwa mereka lebih memperjuangkan kepentingan rakyat dibandingkan dengan lawan politik mereka.
Saling tuding antara PDIP dan partai pro pemerintah juga menyoroti adanya kesenjangan antara kebijakan yang seharusnya berpihak pada kesejahteraan rakyat dengan kenyataan politik yang sering kali mengutamakan keuntungan jangka pendek bagi partai.
Persaingan politik ini membuat kebijakan perpajakan menjadi lebih kompleks, dan tidak jarang memengaruhi penerimaan publik terhadap kebijakan yang diambil pemerintah.
Namun, meskipun terjadi perselisihan politik, kebijakan kenaikan PPN 12% tetap harus dijalankan, dan penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menguntungkan satu pihak saja.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat untuk menjelaskan tujuan dan dampak dari kebijakan ini secara lebih transparan, agar bisa mengurangi ketegangan politik yang ada.
Perspektif Filsafat Politik: Keadilan Sosial
Filsafat politik berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar terkait keadilan dan bagaimana suatu kebijakan publik bisa mewujudkan keadilan sosial.
Dalam konteks kenaikan PPN, pertanyaan yang muncul adalah apakah kebijakan ini adil bagi seluruh lapisan masyarakat?
Di dalam teori keadilan sosial, beberapa filsuf besar seperti John Rawls dalam teori “veil of ignorance” (tirai ketidaktahuan) menekankan pentingnya merancang kebijakan yang memperhatikan kesetaraan hak bagi seluruh warga negara, terutama bagi mereka yang berada di posisi paling lemah.
Dari sudut pandang ini, kebijakan kenaikan PPN dapat dipertanyakan. Meskipun tarif PPN 12% hanya dikenakan pada barang dan jasa mewah, apakah kebijakan ini benar-benar memperhatikan kepentingan mereka yang kurang mampu?
Dalam teori keadilan sosial Rawls, adalah penting untuk memastikan bahwa kebijakan publik tidak memberatkan kelompok yang sudah berada dalam posisi ekonomi yang sulit.
Jika dilihat dari sudut pandang ini, kebijakan yang meningkatkan tarif PPN, bahkan hanya untuk barang mewah, bisa menciptakan dampak domino yang mempengaruhi barang dan jasa lainnya.
Pengusaha dan produsen barang mungkin akan menaikkan harga produk mereka dengan alasan untuk menyesuaikan dengan kenaikan PPN, yang pada gilirannya akan memberatkan masyarakat umum, termasuk mereka yang tidak mampu membeli barang mewah.
Namun, Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan pro-rakyat.
Mereka berpendapat bahwa kenaikan PPN 12% ini lebih bersifat progresif, karena hanya menyasar barang dan jasa yang dikonsumsi oleh kalangan kelas atas.
Dalam teori keadilan sosial ini, kebijakan tersebut berusaha untuk membuat mereka yang berada di atas kontribusinya lebih besar terhadap pendapatan negara, sementara rakyat biasa tidak akan terbebani oleh kenaikan pajak ini.
Perspektif Moral: Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah
Dari perspektif moral, pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pajak yang dikumpulkan digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Salah satu alasan utama mengapa pajak dikenakan adalah untuk membiayai kebutuhan publik, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan keadilan sosial.
Dengan demikian, pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah pajak yang dikumpulkan dari kenaikan PPN 12% akan benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat banyak, atau justru akan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Salah satu isu moral yang muncul adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola dana yang diperoleh dari pajak.
Dalam banyak kasus, terutama di negara berkembang, penyalahgunaan dana publik dan korupsi menjadi masalah yang sangat serius.
Jika pemerintah tidak mampu menjamin transparansi dalam penggunaan dana pajak, maka kenaikan PPN ini akan dipandang oleh sebagian besar masyarakat sebagai beban yang tidak memberikan manfaat langsung bagi mereka.
Dari sisi moral, pemerintah juga memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kebijakan pajak ini tidak hanya memberatkan rakyat, tetapi memberikan mereka jaminan akan pelayanan publik yang lebih baik.
Tanpa adanya kepastian bahwa dana pajak digunakan secara efisien dan transparan, kenaikan PPN justru dapat menambah ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah.
Kekhawatiran Masyarakat dan Dampak Sosial
Meski pemerintah menegaskan bahwa kenaikan PPN 12% hanya akan berlaku untuk barang dan jasa mewah, banyak masyarakat yang merasa khawatir dampak kebijakan ini akan merembet ke barang dan jasa lain yang lebih murah.
Sebagian kalangan khawatir bahwa pengusaha atau pedagang akan menaikkan harga barang mereka dengan alasan adanya kenaikan PPN, meskipun barang tersebut tidak terkena tarif pajak yang lebih tinggi.
Kekhawatiran ini semakin diperburuk dengan adanya perasaan ketidakadilan, terutama dari kalangan masyarakat yang merasa bahwa mereka tidak mendapatkan manfaat langsung dari kebijakan ini.
Apalagi jika ditambah dengan persepsi bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan kalangan elit dan tidak menyentuh kebutuhan rakyat miskin.
Dalam hal ini, filsafat politik mengingatkan bahwa kebijakan yang tidak memperhatikan kesejahteraan semua lapisan masyarakat bisa berisiko menciptakan ketidakpuasan sosial yang lebih besar.
Kewajiban Moral dalam Menegakkan Keadilan Pajak
Salah satu argumen yang paling mendalam dalam filsafat moral adalah bahwa pemerintah memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa pajak yang dipungut digunakan secara adil dan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Pemerintah juga harus mematuhi prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan dalam penerapan pajak, memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya memberi keuntungan bagi pihak-pihak tertentu.
Kenaikan PPN 12% seharusnya tidak hanya menjadi sumber pendapatan negara, tetapi juga sebuah instrumen untuk mewujudkan pemerataan ekonomi.
Dalam hal ini, kebijakan perpajakan yang lebih progresif sangat diperlukan untuk mencapai tujuan keadilan sosial.
Pemerintah harus bekerja keras untuk memastikan bahwa dana yang diperoleh dari pajak tersebut digunakan untuk kebutuhan rakyat secara adil dan merata, bukan untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu.
Kenaikan PPN 12% Ditinjau dari Perspektif Hukum
Dari perspektif hukum, kenaikan tarif PPN 12% ini tidak hanya menjadi soal kebijakan fiskal semata, tetapi juga harus dipahami melalui prinsip-prinsip keadilan dalam sistem hukum negara. Keadilan pajak merupakan isu fundamental dalam filsafat hukum, yang menyentuh hak setiap individu untuk diperlakukan setara dalam kewajiban perpajakan.
Pajak sebagai instrumen negara memiliki tujuan utama untuk memenuhi rasa keadilan sosial dengan memastikan bahwa setiap orang, sesuai dengan kemampuannya, memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara. Dalam konteks ini, prinsip hukum yang perlu ditekankan adalah bahwa pajak harus adil dan merata dalam pendistribusiannya, tanpa memihak kelompok tertentu, dan menghindari penyimpangan dari kaidah keadilan yang seharusnya ditegakkan.
Secara teori, pajak seharusnya tidak hanya dilihat sebagai beban yang memberatkan masyarakat, tetapi sebagai sarana untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih merata. Oleh karena itu, dalam penerapan PPN 12%, pemerintah harus menjamin bahwa kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk mengisi kas negara, tetapi juga memperhatikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya mereka yang lebih rentan.
Namun, dalam praktiknya, sering kali ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan ini. Dalam hal ini, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa kenaikan tarif PPN tidak menambah ketidakadilan, terutama bagi mereka yang berada dalam kondisi ekonomi yang lebih lemah. Transparansi dalam penggunaan pajak yang dikumpulkan dan pengawasan yang ketat menjadi sangat krusial agar kebijakan ini benar-benar mencerminkan keadilan sosial.
Dengan demikian, dari perspektif hukum, kenaikan tarif PPN 12% harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya sah secara legal, tetapi juga memenuhi prinsip-prinsip keadilan yang terkandung dalam hukum negara. Pemerintah memegang peran vital dalam memastikan bahwa pajak digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan segelintir kelompok atau pihak tertentu.
Kesimpulan
Kenaikan tarif PPN 12% di Indonesia membawa dampak yang kompleks, baik dari segi politik, moral, maupun hukum. Kebijakan ini seharusnya dipandang sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk pembangunan dan pelayanan publik. Namun, penerapan tarif PPN yang lebih tinggi hanya pada barang dan jasa mewah mencerminkan langkah untuk mendorong pemerataan ekonomi, yang pada akhirnya bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sosial.
Namun, dari perspektif filsafat politik dan moral, kebijakan ini menghadapi tantangan dalam memastikan keadilan sosial. Kenaikan tarif PPN tidak hanya harus adil secara distribusi, tetapi juga harus diterima oleh masyarakat, terutama yang berisiko merasa terbebani akibat kenaikan harga barang dan jasa.
Dalam perspektif hukum, penting untuk menegakkan asas keadilan dalam setiap kebijakan pajak. Kenaikan PPN harus dilaksanakan secara transparan dan merata, memastikan bahwa pajak yang dipungut digunakan untuk kesejahteraan rakyat, dan bukan hanya untuk kepentingan segelintir pihak.
Secara keseluruhan, kebijakan kenaikan PPN 12% harus terus dievaluasi agar benar-benar mencapai tujuannya, yaitu pemerataan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemerintah harus menjaga transparansi dalam pengelolaan pajak dan memperhatikan aspek keadilan sosial agar kebijakan ini benar-benar bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat (*).
Editor: Arya R. Syah
================