OPINI  

Citra Tanpa Makna: Ketika Kampus Gagal Melindungi Mahasiswinya

Citra Tanpa Makna: Ketika Kampus Gagal Melindungi Mahasiswinya

Oleh: Andi Indi Radtja, SH
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Dirasah Islamiyah Konsentrasi Syariah/Hukum Islam Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Dosen pengampu: Prof. Dr. H. Mustari Mustafa, M.Pd.

BERITAKOTAONLINE.ID – UIN Alauddin Makassar, sebuah kampus yang terkenal dengan akreditasi unggulnya, memancarkan citra positif dalam dunia pendidikan.

Kampus ini seharusnya menjadi tempat yang aman bagi mahasiswi untuk berkembang, berkreasi, dan berpendapat tanpa rasa takut. Namun, kenyataannya berbeda jauh dari harapan.

Citra unggul kampus yang disebut-sebut sebagai “kampus peradaban” mulai pudar ketika realitas kekerasan seksual, diskriminasi, dan pengabaian terhadap hak asasi manusia terungkap dengan jelas di tengah-tengah kampus.

Di balik klaim kemajuan akademik dan citra religius yang dijunjung tinggi, kampus ini gagal menjalankan tanggung jawab utamanya: melindungi mahasiswinya.

Artikel ini menganalisis dampak kebijakan kampus terhadap mahasiswi, khususnya terkait kekerasan seksual dan diskriminasi gender di UIN Alauddin.

Perspektif ini menyoroti suara mahasiswi yang terabaikan, serta masalah kekerasan seksual dan diskriminasi gender di kampus tersebut.

Meskipun kampus ini mendapatkan akreditasi unggul, kenyataannya jauh dari harapan yang seharusnya ada pada sebuah institusi pendidikan yang mengedepankan kemanusiaan dan keadilan.

Melalui artikel ini, pembaca diharapkan dapat melihat bagaimana citra unggul itu seringkali hanya menjadi formalitas yang tidak diikuti dengan tindakan nyata untuk melindungi dan memberi ruang yang aman bagi semua mahasiswi.

Dengan pendekatan yang lebih kritis, artikel ini bertujuan untuk membuka mata semua pihak terkait agar ada perubahan yang lebih signifikan demi masa depan kampus yang lebih inklusif dan adil.

Akreditasi Unggul, Citra Tanpa Makna

Citra “kampus peradaban” yang selama ini digembar-gemborkan oleh UIN Alauddin ternyata lebih banyak berbicara tentang aspek akademis dan prestasi institusional, bukan tentang kualitas perlindungan terhadap mahasiswinya.

Kampus ini mungkin mendapatkan akreditasi unggul, tetapi akreditasi tersebut tidak mencerminkan komitmen untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan dan diskriminasi.

Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi semua mahasiswa, terutama perempuan, justru menjadi tempat yang menakutkan bagi mereka yang memiliki nalar kritis dan keberanian untuk berbicara.

Sebagai contoh, para mahasiswi yang menjadi korban kekerasan seksual sering kali dipandang sebelah mata.

Banyak yang terpaksa menahan diri untuk tidak melapor karena khawatir akan mengalami stigma negatif atau bahkan ancaman dari pihak-pihak tertentu.

Kampus tidak menyediakan sistem yang memadai untuk melindungi korban dan memastikan mereka mendapatkan keadilan.

Akreditasi unggul yang diraih oleh kampus ini menjadi kosong belaka ketika kenyataan menunjukkan bahwa institusi ini gagal melindungi mahasiswinya dari tindak kekerasan.

PSGA: Lembaga Formalitas Tanpa Keberpihakan pada Korban

Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) yang dibentuk oleh kampus seharusnya menjadi garda terdepan dalam penanganan kekerasan seksual.

PSGA diharapkan dapat menjadi lembaga yang memberi pendampingan bagi korban dan mengupayakan penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan cepat dan adil. Namun kenyataannya, PSGA jauh dari harapan.

Sebagai lembaga yang dibentuk untuk menangani masalah kekerasan seksual dan masalah gender lainnya, PSGA justru terlihat seperti lembaga yang tidak berfungsi secara maksimal.

Banyak korban kekerasan seksual yang merasa tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Ketika mereka mencoba mencari keadilan, PSGA malah bersikap acuh tak acuh dan terkesan tidak serius dalam menangani masalah ini.

Lembaga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi korban malah tampak seperti hanya memenuhi formalitas semata.

Tidak ada orientasi kerja yang jelas, dan PSGA gagal memberikan pelayanan yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Hal ini memperburuk kondisi kampus, di mana mahasiswi yang menjadi korban kekerasan seksual merasa kehilangan harapan untuk mendapatkan keadilan.

Mereka semakin merasa tidak berdaya karena tidak ada yang bisa diandalkan untuk membela mereka.

PSGA yang seharusnya menjadi lembaga yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi korban, malah semakin memperlihatkan ketidakpedulian terhadap mereka.

Kekerasan Seksual: Normalisasi Kejahatan di Kampus

Fenomena kekerasan seksual yang terjadi di UIN Alauddin menjadi sebuah kenyataan yang sangat memprihatinkan. Bagi banyak mahasiswi, kekerasan seksual menjadi sesuatu yang sudah dianggap “normal” di kampus ini.

Ketika mereka menghadapinya, mereka sering kali dipaksa untuk menanggung penderitaan tanpa mendapatkan perlindungan yang layak.

Bahkan, beberapa korban merasa bahwa mereka tidak memiliki pilihan selain diam karena takut akan stigma atau pengabaian dari pihak kampus.

Kampus yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk menuntut ilmu malah menjelma menjadi tempat yang menakutkan bagi mereka yang mengalami kekerasan seksual.

Tidak ada mekanisme yang jelas dan transparan untuk menangani kasus kekerasan seksual. Pelaku kekerasan sering kali dibiarkan bebas, sementara korban terjebak dalam ketidakpastian.

Dalam situasi ini, kampus gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai institusi pendidikan yang menghormati dan melindungi hak asasi manusia.

Diskriminasi Gender: Mengikis Keberanian untuk Berkata

Selain kekerasan seksual, diskriminasi gender juga menjadi masalah besar di UIN Alauddin.

Kampus yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip kesetaraan gender malah menciptakan lingkungan yang tidak ramah bagi perempuan.

Mahasiswi yang memiliki pandangan berbeda atau berani berbicara mengenai isu-isu gender sering kali dipandang rendah atau bahkan dijauhi.

Keberanian mereka untuk berbicara tentang ketidakadilan gender sering kali dianggap sebagai ancaman bagi status quo.

Diskriminasi ini tidak hanya terjadi di luar ruang kelas, tetapi juga terjadi di ruang kelas dan dalam interaksi sosial di kampus.

Mahasiswi sering kali diabaikan pendapatnya, dan mereka yang berani menyuarakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan atau norma yang ada sering kali mengalami marginalisasi.

Keberanian untuk berbicara, untuk menuntut hak, dan untuk memperjuangkan keadilan menjadi hal yang sangat sulit untuk diwujudkan di tengah-tengah diskriminasi yang masih mengakar di kampus ini.

Kampus dan Patriarki: Menjaga Sistem yang Merugikan

Kampus ini tidak hanya gagal melindungi mahasiswi dari kekerasan dan diskriminasi, tetapi juga berperan aktif dalam menjaga sistem patriarki yang merugikan perempuan.

Patriarki yang mengakar dalam struktur kampus memperburuk situasi bagi mahasiswi yang berusaha untuk mendapatkan keadilan.

Dalam banyak kasus, mahasiswi yang menjadi korban kekerasan seksual sering kali disalahkan atau diperlakukan tidak adil oleh pihak kampus.

Sistem yang seharusnya melindungi korban justru memperkuat sistem yang menindas mereka.

Patriarki ini tidak hanya terlihat dalam perlakuan terhadap korban kekerasan seksual, tetapi juga dalam pengambilan keputusan di tingkat kampus.

Dalam banyak hal, kebijakan kampus lebih berpihak kepada pihak yang memiliki kekuasaan dan bukan kepada korban.

Diskriminasi dan ketidakadilan ini menjadikan kampus sebagai tempat yang tidak ramah bagi mahasiswi yang ingin berpendapat dan berkreasi.

Solidaritas: Membangun Ruang Aman bagi Penyintas

Melihat kenyataan yang ada, solidaritas menjadi kunci dalam memperjuangkan hak-hak mahasiswi.

Banyak mahasiswa, terutama yang tergabung dalam kelompok aktivis, mulai bersolidaritas untuk mendukung korban kekerasan seksual dan diskriminasi gender.

Mereka berjuang untuk menciptakan kampus yang lebih aman dan inklusif bagi semua mahasiswa, tanpa terkecuali.

Solidaritas ini muncul dalam bentuk demonstrasi, diskusi, dan kampanye yang bertujuan untuk menuntut perubahan di kampus.

Mahasiswa yang peduli terhadap isu ini tidak hanya menuntut keadilan untuk para korban, tetapi juga mengajak seluruh pihak untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik.

Mereka menginginkan kampus yang tidak hanya mengutamakan prestasi akademik, tetapi juga menghormati hak asasi manusia dan memberikan perlindungan yang memadai bagi setiap individu, terutama perempuan.

Masa Depan Kampus: Kembalikan Makna Citra Unggul

Jika UIN Alauddin ingin mempertahankan citra “kampus peradaban” yang mereka banggakan, mereka harus segera melakukan perubahan besar.

Kampus harus memperbaiki sistem dan kebijakan yang ada, memastikan bahwa perlindungan terhadap mahasiswi bukan hanya janji kosong, tetapi tindakan nyata.

PSGA harus diberikan tanggung jawab yang jelas dan dikelola dengan profesionalisme untuk memastikan korban kekerasan seksual mendapatkan pendampingan yang layak.

Selain itu, kampus harus mendorong kebijakan yang mengedepankan kesetaraan gender dan perlindungan hak asasi manusia.

Kampus harus menjamin bahwa setiap mahasiswi, tanpa memandang latar belakang atau pandangan politiknya, dapat menyampaikan pendapat dengan bebas tanpa rasa takut akan diskriminasi atau kekerasan.

Jika kampus gagal melindungi mahasiswinya, maka citra unggul yang mereka banggakan hanya akan menjadi citra kosong yang tidak memiliki makna.

Tanpa komitmen untuk melindungi hak-hak dasar mahasiswi, kampus ini akan kehilangan kepercayaan dan penghormatan dari masyarakat.

Perubahan harus dimulai dari sekarang, karena hanya dengan demikian kampus dapat kembali menemukan makna sejati dari akreditasi unggul dan menjadi tempat yang benar-benar aman bagi semua mahasiswa (*)

Editor: Arya R. Syah

Artikel:

Mengulas Dampak Kenaikan PPN 12%: “Perspektif Filsafat Politik dan Moral

Sindikat Uang Palsu di Kampus: “Perspektif Filsafat dan Moralitas”

Mengupas Sikap Toleransi Masyarakat Toraja di Tengah Keberagaman Agama

======================

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *