MAKASSAR – Kasus hukum yang menjerat Sanawati Binti Dg. Matike, seorang nasabah PNPM Mandiri dari Kabupaten Luwu, membuat Farid Mamma SH, MH sangat geram.
Ia menilai, setelah putusan inkrah dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar pada 12 Desember 2024, keputusan tersebut sangat tidak adil.
Menurutnya, Sanawati, hanya berperan sebagai penerima manfaat, dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 5 bulan, denda sebesar Rp50 juta, serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp54,404 juta.
Namun, yang lebih mengherankan, hukuman tersebut lebih berat dibandingkan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada pengelola dana yang sebenarnya bertanggung jawab.
Farid yang suka berkacamata itu, juga menekankan pentingnya pemahaman yang jelas antara perkara pidana dan perdata oleh aparat penegak hukum.
Menurutnya, kasus ini lebih tepat dikategorikan sebagai sengketa perdata, karena berkaitan dengan hubungan antara debitur dan pengelola dana.
“Sanawati adalah debitur, bukan pelaku kejahatan. Polres Palopo seharusnya tidak terburu-buru menetapkan nasabah sebagai tersangka, padahal dia seharusnya dipandang sebagai korban dalam konteks sengketa perdata,” jelasnya.
Farid Mamma, SH MH, seorang pengamat hukum yang intens mengikuti kasus ini, menilai bahwa putusan tersebut mencerminkan kegagalan hakim dan jaksa dalam memahami peran masing-masing pihak yang terlibat.
“Dalam kasus ini, Sanawati hanya berperan sebagai penerima dana yang telah disalurkan sesuai prosedur, sementara pengelola Unit Pengelola Kegiatan (UPK) yang memiliki kewenangan penuh atas verifikasi data dan penyaluran dana justru mendapat hukuman yang jauh lebih ringan,” ucap Farid, Jumat (13/12/2024).
BACA JUGA:
Farid Mamma Laporkan Kasus Terpidana IR ke Komisi Yudisial
Curhatan Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual oleh Oknum Dosen PIP Makassar Viral di Media Sosial
Lanjut Farid mengatakan, Ketua UPK yang seharusnya bertanggung jawab atas dugaan kelompok fiktif, hanya dijatuhi hukuman penjara selama 9 bulan.
Farid Mamma menilai bahwa perbedaan hukuman ini sangat menunjukkan ketidakadilan dan ketidaktepatan dalam penegakan hukum.
“Sanawati adalah nasabah, bukan pengelola dana PNPM. Ia hanya menerima dana sesuai dengan prosedur yang ada. Perannya tidak bisa disamakan dengan pengelola yang memiliki kewenangan penuh atas verifikasi dan penyaluran dana,” tegas Farid Mamma.
Menurut Farid, putusan tersebut menunjukkan bahwa hakim dan jaksa tidak mampu membedakan dengan jelas peran pengelola dan penerima manfaat dalam kasus ini.
“Hukum harus bisa membedakan antara mereka yang memang bertanggung jawab secara langsung atas pengelolaan dana dan mereka yang hanya menerima sesuai ketentuan yang ada,” tambah Farid.
Dalam pandangannya, kasus ini seharusnya tidak sampai pada proses pidana untuk Sanawati, mengingat ia hanyalah seorang penerima manfaat yang tidak terlibat dalam pengelolaan dana.
BACA JUGA:
Kejagung Periksa 3 Hakim PN Surabaya yang Bebaskan Ronald Tannur
SUMPAH JABATAN UNTUK HAKIM, JAKSA, PANITERA SERTA PANITERA PENGGANTI.
Selain itu, Farid Mamma juga menyoroti penggunaan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dikenal dengan julukan “Pasal Keranjang Sampah.
” Pasal ini sering digunakan dalam kasus-kasus yang tidak memiliki bukti kuat terkait niat jahat atau peran signifikan terdakwa. Farid menyatakan bahwa penerapan Pasal 3 terhadap Sanawati sangat dipaksakan, karena tidak ada bukti bahwa ia memiliki niat untuk memperkaya diri atau bersekongkol dengan pengelola dana.
“Sanawati justru menjadi korban dari pengelolaan dana yang buruk. Seharusnya, ini lebih tepat disebut sengketa perdata, bukan pidana,” jelasnya.
Farid juga mengkritik proses hukum yang dinilai terburu-buru dan tidak memadai.
“Proses hukum yang terkesan asal-asalan ini semakin memperlihatkan bahwa ketidakberdayaan rakyat kecil seringkali dijadikan tumbal dalam kasus seperti ini.
Sanawati hanya menerima pinjaman sesuai prosedur, dan itu seharusnya menjadi pembelaan utama,” ujar Farid dengan nada geram.
Kasus ini menjadi cermin buruk bagi penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam kasus yang melibatkan dana publik.
BACA JUGA:
Ketua KONI Makassar dan Dua Pengurus Ditahan atas Dugaan Korupsi Dana Hibah Rp 5 Miliar
Isu Pemotongan Uang Saku dan Nepotisme Hantui Olahraga Sulsel
Farid Mamma menekankan pentingnya reformasi dalam sistem hukum Indonesia agar kejadian serupa tidak terulang.
“Reformasi sistem hukum sangat diperlukan agar rakyat kecil tidak menjadi korban ketidakadilan seperti yang dialami Sanawati. Ke depan, pengelolaan dana publik harus lebih transparan dan akuntabel,” pungkasnya.
Dengan putusan yang telah inkrah, Sanawati kini harus menjalani hukuman yang menurut banyak pihak tidak adil.
Kasus ini meninggalkan luka mendalam, baik bagi Sanawati sebagai individu maupun bagi masyarakat yang melihat bahwa keadilan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan.
Kini diduga dengan putusan Penyidik, Hakim, dan Jaksa yang telah dijatuhkan, Sanawati menjerit di tahanan sel, merasakan keadilan yang terasa begitu jauh.
Hukuman yang diterimanya, yang jauh lebih tinggi dari yang seharusnya, membuatnya merasa bahwa dirinya telah menjadi korban ketidakadilan.
Meskipun hanya berperan sebagai penerima manfaat dalam program PNPM, ia dijatuhi hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas pengelolaan dana tersebut.
Kasus yang melibatkan Sanawati berawal dari dugaan adanya kelompok fiktif yang menerima dana dari program PNPM di Kecamatan Bupon, Kabupaten Luwu.
Namun, Farid menegaskan bahwa tidak ada bukti yang menghubungkan Sanawati dengan pembentukan kelompok fiktif atau penyalahgunaan dana tersebut.
Farid berpendapat bahwa jika memang kelompok fiktif tersebut ada, maka tanggung jawab utama ada pada pengelola (UPK) yang seharusnya melakukan verifikasi dan penyaluran dana.
“Sanawati hanya mengikuti prosedur yang ada sebagai penerima manfaat, sehingga menjadikannya terdakwa utama adalah sebuah kesalahan yang serius,” pungkas Farid Mamma SH. MH
Laporan: Arya R. Syah
Editor: Andi Ahmad Effendy
===================