OPINI  

Menelusuri Fenomena Politik Uang di Pilkada 2024: Ancaman bagi Demokrasi

Menelusuri Fenomena Politik Uang di Pilkada 2024: Ancaman bagi Demokrasi
Dominikus Batoteng, Koordinator Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa (P3S) Panwascam Sabbang Selatan, Luwu Utara Sulsel (Foto:Istimewa)

Menelusuri Fenomena Politik Uang di Pilkada 2024: Ancaman Bagi Demokrasi

Dominikus Batoteng Koordinator Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa (P3S) Panwascam Sabbang Selatan

Menelusuri fenomena politik uang dalam Pilkada 2024 mengungkap tantangan serius yang dihadapi demokrasi Indonesia. Praktik ini tidak hanya mencemari integritas pemilu, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami dampak dan langkah-langkah yang diperlukan untuk menciptakan pemilu yang lebih bersih dan adil.

Pilkada 2024 semakin dekat, dan sorotan terhadap praktik politik uang kembali menghangat. Fenomena ini tidak hanya menjadi perbincangan di kalangan elit politik, tetapi juga menyentuh lapisan masyarakat yang lebih luas.

Politik uang, atau yang sering disebut money politics, merupakan praktik yang telah mengakar dalam sistem pemilu kita.

Meski sudah ada banyak perdebatan dan upaya untuk menanggulanginya, masalah ini tetap menjadi tantangan besar bagi demokrasi Indonesia.

Politik uang merujuk pada segala bentuk imbalan materi yang diberikan untuk mempengaruhi perilaku pemilih.

Ini dapat berupa uang tunai, sembako, hingga barang-barang lainnya. Meskipun masyarakat mungkin mengetahui bahwa praktik ini merugikan, banyak yang merasa terjebak dalam situasi di mana mereka harus memilih antara imbalan yang ditawarkan dan integritas pemilu itu sendiri.

BACA JUGA: Meningkatnya Angka Politik Uang tahun 2024, Pertanda Indonesia minimnya Sosialisasi Politik untuk Demokrasi?

Menelusuri Dinamika Kota Indonesia: dari Elite, Kebijakan, hingga Metode Penelitian

Konsekuensi dari Politik Uang

Salah satu dampak paling jelas dari politik uang adalah penghilangan substansi pemilihan itu sendiri.

Pemilih yang terpengaruh oleh imbalan materi sering kali mengabaikan kriteria penting yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam memilih pemimpin, seperti visi, misi, dan kemampuan kandidat.

Dalam jangka panjang, ini menciptakan siklus di mana pemimpin terpilih tidak selalu mewakili kepentingan rakyat, tetapi lebih kepada kepentingan individu atau kelompok yang memberikan imbalan tersebut.

Selain itu, politik uang juga mengancam martabat rakyat. Ketika suara dijual, ada pergeseran nilai yang sangat signifikan dalam masyarakat.

Rakyat yang seharusnya memiliki hak untuk menentukan masa depan mereka menjadi terjebak dalam hubungan transaksional yang merendahkan.

Ketergantungan terhadap imbalan materi menciptakan kondisi di mana rakyat tidak lagi kritis terhadap kekuasaan, yang pada gilirannya mengurangi partisipasi politik dan menciptakan masyarakat yang apatis.

BACA JUGA: Dihadapan Perwakilan Masyarakat Papua di Jakarta, SAdAP Mengajak Untuk Pemilu Damai dan Tolak Money Politik

Hukum dan Penegakan yang Lemah

Meskipun telah ada regulasi yang mengatur praktik politik uang, seperti dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, implementasi hukum ini seringkali lemah.

Sanksi yang diberikan tidak cukup untuk memberikan efek jera bagi pelanggar. Hal ini diperburuk dengan minimnya pengawasan dan penegakan hukum yang efektif oleh pihak berwenang.

Di banyak daerah, praktik politik uang masih dianggap hal yang lumrah, bahkan kadang dianggap sebagai bagian dari “budaya” pemilihan.

Dominikus Batoteng, Koordinator Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa (P3S) Panwascam Sabbang Selatan, mencatat bahwa politik uang sering kali terjadi di berbagai tingkatan, dari pemilihan kepala desa hingga pemilu nasional.

“Praktik ini tidak hanya mengancam keadilan pemilihan, tetapi juga merusak fondasi demokrasi itu sendiri,” ujarnya.

Upaya Mencegah dan Mengatasi

Untuk memerangi praktik politik uang, diperlukan upaya kolaboratif dari semua pihak.

Pertama, edukasi kepada masyarakat harus ditingkatkan. Rakyat perlu memahami hak-hak mereka sebagai pemilih dan pentingnya menolak imbalan materi.

Kampanye kesadaran yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil dan lembaga pemantau pemilu sangat penting untuk mendorong partisipasi aktif dan kritis dari masyarakat.

Kedua, penegakan hukum yang lebih ketat harus diterapkan. Penegak hukum perlu dilengkapi dengan sumber daya yang memadai untuk menindak tegas praktik politik uang.

Sanksi yang lebih berat dan transparansi dalam proses hukum akan memberikan sinyal yang jelas bahwa politik uang tidak akan ditoleransi.

Ketiga, calon pemimpin dan partai politik juga harus mengambil tanggung jawab. Mereka perlu berkomitmen untuk menjalankan kampanye yang bersih dan transparan, serta mendidik pendukung mereka tentang pentingnya integritas dalam proses pemilihan.

Membangun Demokrasi yang Sehat

Dalam konteks yang lebih luas, upaya untuk mengatasi politik uang merupakan bagian dari pembangunan demokrasi yang lebih sehat.

Demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang diisi oleh pemilih yang berpendidikan, sadar akan hak dan kewajiban mereka, dan berkomitmen untuk menuntut akuntabilitas dari para pemimpin mereka.

Oleh karena itu, setiap individu memiliki peran penting dalam menanggulangi politik uang dan mendorong pemilihan yang lebih adil.

Sebagai penutup, politik uang dalam Pilkada 2024 harus dipandang sebagai tantangan serius bagi demokrasi Indonesia.

Praktik ini tidak hanya mengancam keadilan dalam pemilihan, tetapi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik.

Upaya bersama dari pemerintah, masyarakat sipil, dan pemilih sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan pemilu yang bersih dan demokratis.

Tanpa itu, kita berisiko mengulangi kesalahan yang sama, membiarkan politik uang menggerogoti fondasi demokrasi kita.

Akhirnya, mari kita semua berkomitmen untuk menolak politik uang. Dengan begitu, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi demokrasi kita dan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat, di mana seharusnya (Bennyus).

Editor : Arya R. Syah

====================

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *